14 Desember 2008
‘Ke-takpeduli-an’ Hiswana Migas
KETUA Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) M Nur Adib menuding pemerintah tidak memikirkan grassroot (detik.com, 30/11/08). Tudingan ini setidaknya menggambarkan secara nyata ‘keangkuhan’, ‘kesombongan’, atau ‘ke-takpeduli-an’ atau mungkin juga bisa dikatakan ‘keserakahan’ para pengusaha minyak ini. Karena, tepatkah pengusaha minyak ini masuk dalam kategori grassroot yaitu masyarakat kelas bawah?
Kebijakan pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak, khususnya jenis Premium Rp 500 per liter dari sebelumnya Rp 6.000 perliter, berlaku mulai hari ini, Senin, 1 Desember 2008 pukul 00.00 WIB. Mungkin karena kebijakan duet SBY-JK ini cukup luar biasa dan menjadi sejarah baru di republik ini, membuat kalangan Hiswana Migas kebakaran jenggot. Karena, sejak orde baru lalu Hiswana Migas memang hanya ketiban untung terus, karena belum pernah pemerintah saat itu berani menurunkan harga minyak. Tapi kalau kenaikannya, hampir tiap tahun.
Kebijakan pemerintahan SBY-JK ini memang pro rakyat, walau penurunan yang hanya Rp 500 per liter itu masih dianggap kecil. Hitung-hitungan para ekonom, masih ada peluang penurunan di bawah level itu. Tapi dengan penurunan kecil itu saja, kalangan Hiswana Migas justru sudah berani mengaku kelompoknya grassroot.
Hiswana Migas jangan sok merendahkan diri. Rugi sedikit ribut, tapi ketika menikmati untung besar malah tenang-tenang saja. Bahkan sampai saat itu, belum begitu terlihat adanya kepedulian pengusaha minyak yang meraup untung miliyaran atau mugkin triliunan tiap hari, pada sektor kemiskinan dan bencana alam.
Di Riau saja yang lebih dekat atau yang derita masyarakat Rumbai tiap tahun di landai banjir, pernahkan terdengar ada bantuan dari Hiswana Migas Riau? Sementara berapa untung yang mereka raup tiap hari dari masyarakat Riau?
Kembali pada penurunan harga BBM tadi, Hiswana Migas mestinya juga punya sense of responsibility social. Kesan yang muncul dari pengakuan Nur Adib tersebut, hanya menonjolkan kepentingan kelompok mereka saja yang angkanya tak sampai satu persen dari jumlah penduduk yang berdiam dan beli minyak di Republik Indonesia ini.
Ketika pemerintah (masih era SBY-JK), menaikkan harga premium dari Rp 4.500 ke Rp 6.000, Hiswana Migas hanya diam-diam saja. Karena, ada untung besar di sini. Dengan selisih harga Rp 1.500 per liter, sangat luar biasa untung yang dapat diperoleh. Saat detik-detik menjelang kenaikan harga itu, meski ramai masyarakat belim BBM, tapi nyaris tak ada SPBU yang kosong minyak. Artinya, ketika tepat pukul 00.00 WIB, di tanki timbun SPBU masih tersimpan BBM yang dibeli masih dengan harga jual seharusnya Rp 4.500. Tapi, lewat satu menit saja sudah dijual Rp 6.000 per liter. Nah, dari selisih harga Rp 1.500 per liter itu berapa miliar atau berapa triliun keuntungan yang dinikmati para pemilik SPBU di Indonesia yang nota bene adalah anggota Hiswana Migas? Sekarang, selisih harganya Cuma Rp 500 per liter. Coba hitung!
Idelanya sebuah organisasi memang mengutamakan kepentingan kelompoknya, tapi mbok ya pikirkan juga kepentingan masyarakat yang lebih luas, yang nyata-nyata terpaksa membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari, berapa pun harga yang ditetapkan pemerintah. Karena, memang tidak ada pilihan lain.
Kalau hal kecil ini saja Hiswana Migas sudah mengeluh, padahal kebijakan pemerintah itu jelas-jelas untuk hajat hidup orang banyak, maka mungkin lebih baik pemerintah melalui PT Pertamina lebih pro aktif dengan memperbanyak pembangunan SPBU Pertamina. Dengan begitu, bila harga minyak dunia turun lagi, pemerintah juga tidak terlalu rumit memikirkan ‘teriakan’ dan ‘keluhan’ Hiswana Migas yang memang tidak bisa diaudit pemerintah. Tapi dengan Pertamina, pemerintah mungkin bisa lebih pro rakyat dan keuntungan Pertamina juga kembali pada Negara, tidak hanya masuk kocek pengusaha yang tergabung dalam Hiswana Migas. Cara ini mungkin lebih aman dan mengurangi konflik kepentingan. (almudazir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar