03 Februari 2009
Kekerasan Pada Anak-Anak
KOMISI Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ternyata belum cukup ampuh mengurangi tingkat tindak kekerasan terhadap anak-anak di Indonesia. Padahal, lembaga independen Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak diharapkan dapat meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Karena itu pula, KPAI juga dibentuk di tingkat provinsi dengan nama KPAI Daerah (KPAID).
Keputusan Presiden Nomor 36/1990 merupakan dasar hukum pembentukan lembaga ini. Namun dalam tataran operasionalnya, KPAI maupun KPAID belum banyak beraksi dalam bentuk terjun langsung ke masyarakat, baik dalam bentuk bimbingan maupun advokasi terhadap anak-anak yang teraniaya. KPAI maupun KPAID masih bergerak dalam tataran sosialisasi, itupun lebih di pusat-pusat atau ibukota provinsi dan tidak dilakukan secara kontiniu. Itu sebabnya, masyarakat tidak begitu mengenal KPAI. Masyarakat tidak tahu kemana harus mengadu.
Tak banyak atau nyaris tak ada baliho-baliho maupun himbauan-himbauan KPAI maupun KPAID di tempat-tempat umum atau media massa. Padahal, sebagai lembaga yang didanai APBN dan APBD, KPAI seharusnya bisa lebih memperbesar porsi sosialisasi dan advokasi serta memberikan perlindungan langsung pada anak-anak yang teraniaya. Idealnya, dalam setiap kasus kekerasan terhadap anak-anak, KPAI harus selalu tampil di depan memberikan perlindungan terhadap anak-anak tersebut. Bahkan bila perlu, KPAI lah orang pertama diberitahu masyarakat atau keluarga korban. Artinya, KPAI maupun KPAID harus lebih gencar menyebarkan informasi dan penyuluhan, termasuk membuka layanan pengaduan 24 jam dengan menyediakan nomor pengaduan tertentu yang selalu online. Karena banyak masyarakat yang mengeluh, kemana harus mengadu?
Kekerasan terhadap anak-anak bisa disamakan dengan upaya membunuh masa depan sebuah generasi. Anak-anak selalu saja rentan menjadi korban perkosaan maupun penganiayaan. Ketakberdayaan mereka, selalu dimanfaatkan orang dewasa termasuk orangtua sendiri untuk menzhaliminya.
Kasus yang dialami Rizki di Pekanbaru yang dianiaya bibinya atau kasus yang menimpa ‘melati’ bocah 9 tahun yang diperkosa tetangganya, serta puluhan kasus-kasus kekerasan terhadap anak lainnya, cukup jadi alat introspeksi bagi KPAI bahwa anak-anak sellau saja jadi ancaman lingkungannya. Tidak saja tetangga, kakak atau orangtuanya, tapi juga bibinya. Mungkin banyak lagi kasus-kasus kekerasan terhadap anak-anak, namun tak terdeteksi karena mereka tidak tahu, kemana harus mengadu?
Karena itu, sudah selayaknya KPAI juga dibentuk di daerah-daerah tingkat II. Selama ini masyarakat di kabupaten/kota sangat merasakan kurangnya informasi keberadaan KPAI. Ini harus segera disikapi agar calon generasi penerus itu tidak frustasi atau menderita keterbelakangan mental karena terus mendapat intimidasi.
Pemerintah sangat berperan penting disini, bagaimana agar KPAI dapat lebih leluasa bergerak dan terjun ke masyarakat. Pengalokasian anggaran yang memadai akan sangat membantu KPAI bersosialisasi. (almudazir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar