01 Februari 2009
Demokrasi Lewat Mahkamah Konstitusi
INILAH demokrasi yang sebenarnya. Suara Rakyat adalah Suara Tuhan (vox populi, vox dei) yang menjadi ciri dasar demokrasi justru lahir dari tangan-tangan Mahkamah Konstitusi, bukan dari 550 anggota DPR RI yang bertugas menggodok Undang-Undang.
Kenapa? Pertanyaan ini seharusnya tidak muncul bila para anggota DPR RI yang dipilih rakyat lewat jalur partai, benar-benar bersikap dan bertindak sebagai wakil rakyat. Penetapan Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, menggambarkan ketakutan para wakil rakyat itu tak dipilih lagi oleh rakyat. UU No. 10/2008 itu secara implicit memperlihatkan kesadaran sekaligus ketakutan sebagian besar para anggota DPR RI itu bahwa selama ini mereka benar-benar tidak pro rakyat dan bakal kehilangan kekuasaan karena tak akan dipilih lagi. Kesadaran itulah yang berakibat alotnya saat pembahasan UU No. 10/2008 hingga akhirnya melahirkan penentuan calon Legislatif Terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Rakyat jelas kecewa ketika UU itu ditetapkan. Tapi rakyat tak berdaya. Untunglah ada tiga orang yang mewakili rakyat (bukan wakil rakyat, red) yang mencoba melawan kekuatan dewan. Uji Materi UU Pemilu itupun diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima Satria.
Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Mohammad Mahfud MD SH SU menangkap peluang itu untuk menujukkan keperpihakannya pada rakyat. Kegagalannya memperjuangkan aspirasi rakyat semasa jadi anggota DPR serta pemahamannya terhadap keinginan rakyat semasa menjabat Menteri Pertahanan, ditumpahkan dengan menyetujui Uji Materil UU No. 10/2008 yang diajukan ketiga orang tersebut. Demokrasi yang selama ini hanya untuk kalangan atas, dicairkan dengan mengganti pasal 214 huruf a, b, c, d dan e UU 10/2008 yang menetapkan anggota legislatif dari berdasarkan nomor urut menjadi suara terbanyak.
Artinya, anggota legislatif di semua tingkatan tidak lagi mengacu pada keinginan partai, tapi betul-betul keinginan rakyat. Kekuasaan tertinggi dari dulu sebenarnya sudah berada di tangan rtakyat, kini dikembalikan oleh Mahkamah Konstitusi.
Artinya lagi, rakyat betul-betul tahu kepada siapa aspirasinya akan dipercayakan. Siapa yang selama ini betul-betul memperhatikan nasib mereka. Jadi, bagi tokoh-tokoh politik, mantan birokrat, tokoh agama ataupun tokoh-tokoh adat yang selama ini hanya memanfaatkan ketokohannya untuk kepentingan pribadi dan golongan, jangan berharap lagi dapat tempat di legislatif. Mahkamah Konstitusi tak mau lagi masyarakat membeli kucing dalam karung.
Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi itu, ketakutan Ketua MPR RI yang mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nurwahid akan membengkaknya golongan putif alias Golput tak akan terjadi. Jadi tak perlu lagi adanya himbauanh agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan Fatwa Haram Golput. Dagelan politik Hidayat itu secara tidak langsung akan mentah oleh putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Karena, siapa memilih siapa, pada pemilu akan jelas.
Karena itu, jika ingin menjadi Wakil Rakyat, perhatikanlah rakyat. Dekati dan pikirkan keinginan rakyat. Jangan zolimi rakyat. Karena, Suara Rakyat telah kembali menjadi Suara Tuhan.(almudazir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar