18 Desember 2008

Wacana ‘Menyesatkan’ Hidayat Nurwahid

KETUA MPR RI Hidayat Nur Wahid tiba-tiba mewacanakan fatwa haram bagi golput alias warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Untuk memuluskan wacana itu, Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini membujuk organisasi Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk mengeluarkan Fatwa Haram bagi para golongan putih (golput) tersebut. Kontan saja, wacana yang dilontarkan Hidayat menggelinding bak bola panas. Kecaman pun bermunculan. Sebagai pimpinan tertinggi lembaga pembuat Undang Undang, Hidayat seharusnya tidak mengeluarkan gagasan yang justru bertentangan dengan Undang Undang. Sebab, UU sendiri tidak mewajibkan masyarakat memilih dalam Pemilu. Lagipula, soal halal, haram atau makruh merupakan hukum Agama yang jelas tidak bisa disamakan dengan hukum tatanegara. Tanpa bermaksud menggurui, tak mungkin Hidayat tak paham bahwa pemilih dalam Pemilu tidak hanya warga Muslim. Jadi, tidak semuanya bisa dijadikan fatwa. Karena itu wajar, Direktur Eksekutif IndoBarometer M Qodari mengatakan bahwa wacana yang dilontarkan Hidayat Nur Wahid itu menyesatkan. Masyarakat tidak bisa dipaksa memilih. Seharusnya, Hidayat Nur Wahid atau PKS, atau partai-partai lain yang punya keterwakilan di DPRD dan DPR RI introspeksi, kenapa begitu rendah partisipasi masyarakat dalam memilih. Perjuangan apa yang telah dilakukan untuk rakyat yang diwakili. Terasa kah penderitaan rakyat oleh para anggota dewan yang terhormat tersebut. Tidak seperti sekarang, lazimnya jika mewakili seseorang maka yang mewakili tersebut menjadi nomor dua. Tapi fakta yang terjadi, justru yang mewakili pula yang minta dilayani. Ironisnya, masyarakat sudah tidak merasakan ada wakilnya yang diharapkan sebagai penyambung lidah. Inilah yang akhirnya memunculkan antipati. Hitungan-hitungan masyarakat sederhana saja, pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos, sedikitnya menghabiskan waktu satu jam atau mungkin bisa setengah hari. Nah, kalau waktu selama itu dimanfaatkan untuk jualan atau bekerja untuk mencari sesuap nasi, mungkin lebih berarti. Toh, waktu adalah uang. Masyarakat melihat, pergi ke TPS tidak ada untungnya, justru rugi yang didapat. Sikap itu muncul, karena para anggota dewan juga. Ketika sudah duduk enak, tak ingat lagi yang memilihnya. Bahkan ada anggota dewan yang selama 5 tahun hampir tak pernah turun ke daerah pemilihan menemui pemilihnya. Jika Hidayat Nur Wahid dan PKS terus menggelontorkan wacana Fatwa Haram itu, bisa-bisa berdampak menurunkan popularitas PKS sendiri di mata publik. Agama jelas bukan politik. Aturan agama landasannya Alquran dan hadist yang tidak pernah berubah sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sementara aturan politik, saat sarapan pagi A, setelah makan siang bisa saja jadi D. Jadi, janganlah dicampurbaurkan. Jangan biasakan, semua bisa masuk wilayah politik. Pada akhirnya justru akan lebih memperbesar golput. Karena masyarakat tahu, tidak ada sedikitpun kepentingan perut masyarakat dengan wacana fatwa haram tersebut. Justru bisa berdampak masyarakat makin kelaparan, karena harus membuang sekian jam waktunya untuk ke TPS. Sementara nasib mereka tak jua berubah. Benar apa yang dikatakan Pengamat Politik UI, Arbi Sanit, dalam sebuah talkshow, Sabtu (13/12), yang dilansir situs inilah.com, kalau MUI menyatakan haram berarti bertentangan dengan demokrasi karena golput atau tidak itu sama haknya. Kalau terjebak di situ, maka MUI sudah jadi politisi bukan lembaga agama. MUI harus sadar untuk tidak melibatkan diri terlalu jauh dalam persoalan-persoalan politik. Arbi menganalogikan politik lebih banyak abu-abunya jika dibandingkan hitam putih (halal atau haram), sedangkan agama urusannya hitam putih. Oleh karena itu, agama tidak bisa diparalelkan politik. Begitu juga dengan politik yang tidak disemetrikan dengan agama. Kalau masuk ke politik, MUI sudah terpuruk ke dalam bumi bukan lagi ke akhirat. Fatwa masalah agama, urusan masuk surga. Pemilu jangan disamakan dengan surga. Pak Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR dan mantan Presiden PKS, coba renungkan lagi.(almudazir)

Tidak ada komentar: