15 Desember 2008

Membangun Citra Kepolisian

KAPOLRI Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri merespon positif gebrakan Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko dalam mengungkap kasus perjudian togel antara Negara dengan tersangka Chandra Wijaya alias acin. Terbukti, tak lama setelah berkas Acin diserahkan Kapolda Hadiatmoko ke Kejaksaan Tinggi, Mabes Polri tampaknya mulai mengarahkan pengusutan ke tubuh Polri sendiri. Penjelasan yang disampaikan Inspektur Pengawas Umum Mabes Polri, Senin (1/12), terkait dugaan keterlibatan tiga mantan Kapolda Riau dan tiga mantan Wakapolda Riau, mendapat acungan jempol dari masyarakat. Gebrakan ini sudah lama ditunggu. Ketika Kapolri sudah dengan tegas tak lagi melindungi anggotanya yang ‘nakal’, apalagi setingkat kapolda, ini sebuah terobosan besar yang akan mengangkat citra kepolisian. Tapi, apakah terobosan kapolri itu juga akan menjadi kabar petakut pada para jajaran Polres hingga Polsek? Karena, dua lembaga kepolisian inilah yang lebih banyak menjadi ujung tombak di lapangan dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Artinya, citra kepolisian akan lebih banyak disandang oleh para anggota yang bertugas di Polres dan Polsek. Membangun citra kepolisian selaku lembaga penegak hukum dan pengayom masyarakat, memang sulit. Mantan Kapolri Jendral Sutanto pernah mengakui bahwa mengakui penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Sutanto bicara hal itu berkaitan dengan masih minimnya tingkat kesejahteraan polisi. "Mestinya gaji polisi itu minimal Rp 7 juta sebulan, agar mereka dapat bekerja dengan baik, namun itu cobaan buat kami," katanya Pada sisi lain Sutanto juga mengakui, tidak mudah mengubah perilaku polisi agar sesuai harapan masyarakat. "Mengubah perilaku polisi memang tidak mudah dan butuh waktu yang lama. Sebenarnya tugas polisi memberi perlindungan bagi masyarakat, namun masih banyak masyarakat yang kecewa," ujarnya (tempointeraktif.com). Kita tidak bicara kesejahteraan anggota polisi. Tapi, ketika jajaran Mabes Polri telah mulai terbuka memaparkan kasus meski di tubuh sendiri, kondisi yang sama belum sepenuhnya terlaksana di tingkat Polda, Polres dan Polsek. Seringkali wartawan kesulitan mengakses informasi dari jajaran pimpinan kepolisian tersebut, terkait temuan, penyelidikan dan penangkapan yang dilakukan. Padahal, tujuan para jurnalis ini hanya satu, mengimformasikan ke publik atas keberhasilan polisi. Dan ini jelas-jelas akan membangun citra kepolisian. Justru ketika Kapolda, Kapolres, kapolsek atau setingkat kasat dan kanitnya enggan mengomentari kasus yang tengah ditangani, maka akan memunculkan pikiran macam-macam dari masyarakat. Karena, mungkin dengan alasan tuntutan deadline, maka sebagai bahan untuk memperkuat beritanya, sang wartawan tadi bisa saja menuliskan di ujung beritanya, Kapolres atau Kapolsek atau kasat, enggan berkomentar ketika dikonfirmasi hal tersebut. Satu kalimat yang ditulis wartawan itu dan walau di bagian akhir tulisannya, bisa berpengaruh besar terhadap citra kepolisian (termasuk bagi lembaga penegak hukum lainnya). Karena, measyarakat pembaca dengan bebasnya menduga-duga, da apa gerangan? Padahal, sesuai kode etik, apa yang dilakukan wartawan tadi sudah benar karena dia telah memberi kesempatan pada Kapolres, kapolsek atau kasat tadi untuk memberi penjelasan. Kembali pada dugaan keterlibatan 3 Mantan Kapolda Riau dan 3 Mantan Wakapolda Riau tadi, pihak Mabes Polri telah merilisnya ke publik. Artinya, Mabes Polri juga diharapkan selalu merilis setiap perkembangan pemeriksaannya hingga keluarnya keputusan akhir, bersalah atau tidaknya 6 mantan perwira tinggi ke Mapolda Riau ini. Dengan begitu, publik akan menilai bahwa Kapolri memang tidak pandang bulu dalam penegakan hukum guna membangun citra kepolisian di hadapan publik. Nah, niat yang sama diharapkan juga dibangun jajaran Polda hingga Polsek.(almudazir)

Tidak ada komentar: