24 April 2008

Kami Sudah Bosan Terima Tamu

* Kondisi SDN 005 (Lokal Jauh) Sekaladi Rokan Hilir Memprihatinkan * Lokal Belajar Mirip kandang Sapi
WULAN (10), siswa IV Sekolah Dasar (SD) 005 (lokal jauh) Sekaladi, Dusun Menggala Sati, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Rokan Hilir, terlihat asyik bermain dengan teman-temannya di halaman sekolah yang berukuran sekitar 20 X 10 M. Sesekali dia meminum es dari dalam kantong plastik yang dipegangnya. Gadis kecil berambut sebahu ini, seakan tak peduli dengan kondisi sekolahnya yang mulai reot. Sekolah yang berjarak sekitar 25 km dari jalan lintas Riau-Sumut atau sekitar 100 km dari pusat pemerintah Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) di Bagan Siapiapi. Satu dari tiga ruangan kelas yang ada, bahkan atapnya sudah rubuh akibat diterpa angin badai sekitar sepuluh hari lalu. Akibatnya, satu ruangan belajar itu tak bisa digunakan lagi untuk aktivitas belajar mengajar.Sedangkan dua ruangan kelas lagi yang juga berdinding papan, terlihat sudah bolong-bolong. Sama halnya dengan kondisi atapnya yang terbuat dari daun nipah, sebagian besar juga sudah bolong, sehingga dengan mudah panas matahari menerpa siswa yang sedang belajar di bangku yang tersusun cukup rapat. Mengenaskan memang. "Kalau hujan, kami tetap belajar. Tapi kami merapat ke arah yang tidak bocor atapnya. Terkadang buku-buku pelajaran kami basah juga oleh tempias hujan," ucap Wulan dan rekannya Rini. Rini mengaku, orangtuanya lebih memilih sekolah ini karena kualitasnya dinilai lebih baik dari sekolah yang ada di desa tersebut. Karena, dia tak begitu peduli dengan ruangan belajar yang jauh dari layak sebagai ruangan pendidikn. Meski sekolah tersebut jauh dari layak sebagai tempat proses belajar mengajar, namun sejumlah orang tua lebih suka menyekolahkan anaknya di sini. Menurut Rahmiati, seorang wali murid, meski sekolahnya sangat jelek, tapi kualitas pendidikannya sangat bagus. Banyak jebolan SD 005 yang berprestasi setelah masuk SMP di sekitar kecamatan tersebut. Bahkan ada orangtua yang menyekolahkan anaknya keluar dari kecamatan tersebut, namn tetap dapat ranking teratas. "Anak saya yang tua, dari SMP hingga SMA selalu dapat rangking lima besar. Sama dengan banyak anak-anak lain lulusan SD ini. Mungkin karena itu murid SD ini jauh lebih banyak dari SD negeri yang ada di sekitar desa ini," ujarnya. Ucapan Rahmiati itu dapat dibenarkan. Meski hanya ada dua lokal dan tanpa ruang guru apalagi ruang kepala sekolah, murid SD 005 ini dari kelas satu sampai kelas enam mencapai 222 orang. Karena itu, M Manurung LTP selaku kepala sekolah terpaksa membagi murid-murid untuk masuk belajar pagi dan siang.Pagi, yang belajar murid kelas satu, dua, lima dan enam. Masuk siang murid kelas dua, tiga dan empat. "Kelas dua ada dua lokal. Jadi satu lokal masuk pagi dan satu lokal masuk siang. Karena lokal hanya ada dua, terpaksa gantian. Saat yang lain istirahat, maka yang lain masuk belajar. Jadi dari pagi hingga sore, lokal ini tak kosong dengan lima orang guru," ungkap Manurung. Sebagai kepala sekolah sekaligus penggagas berdirinya sekolah tersebut bersama istrinya Nismar yang menjadi seorang guru di sekolah itu, Manurung mengaku sangat prihatin dengan kondisi tersebut. Namun apa daya, sejak sekolah itu didirikan pada 27 Juli 1997, sekaligus didaftarkan hari itu juga ke Dinas Pendidikan Kecamatan Tanah Putih, sekolah itu tak pernah tersentuh bantuan pemerintah. Padahal, di sebelah bangunan sekolah ini setiap harinya mengalir ribuan ton minyak dari pipa-pipa milik PT Chevron Pasifik Indonesia (PT CPI). Namun mereka tak pernah menikmatinya. Satu-satunya yang dibantu pemerintah hanya tiga orang guru dari lima guru yang ada di sekolah itu. "Namun bagi saya, ini komitmen saya untuk memajukan pendidikan anak-anak desa ini. Ada beban moral yang besar di pundak saya untuk ikut membantu kelangsungan pendidikan anak-anak dusun dari berbagai latar belakang suku dan agama ini. Saya tak pernah membedakan mereka. Karena itu saya perbaiki sendiri atap-atap yang bocor dan dinding-dinding yang roboh, tanpa memikirkan bantuan pemerintah" jelasnya. Sejak sekolah ini didirikan, lanjut Manurung, sudah puluhan mungkin ratusan tamu yang datang berkunjung. Ada yang mengaku anggota DPRD, LSM, termasuk para pejabat dan wartawan. Semuanya mengaku prihatin dengan kondisi sekolah ini. Namun setelah mereka pergi, semua kembali seperti semula. Kondisi sekolah ini tak pernah berubah juga. "Karena itu, kami sudah putus asa. Kami tak lagi menaruh harapan pada tamu-tamu yang datang dan mengaku prihatin dengan kondisi sekolah ini. Termasuk dari dinas pendidikan sendiri, karena tak pernah ada realisasinya. Kami sudah bosan dengan kedatangan tamu, maaf, termasuk dari para wartawan," ucap Manurung. Ditambahkan Nisma, pernah mereka mengusulkan pada pihak dinas pendidian Kabupaten Rokan Hilir untuk membantu pembangunan ruang belajar. Namun alasan pihak dinas, luas areal tidak cukup. "Luas tanah lokasi sekolah ini mencapai 1.400 M3. Sekolah lain kami lihat, luas tanahnya tidak sampai seluas ini. Karena itu, kami sudah capek mengurusnya. Sekarang kami hanya meneruskan niat kami untuk membantu dunia pendidikan," ujar Nisma, yang lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Tanjung Balai Karimun. (almudazir)