01 Februari 2009

Mengontrol Belanja BOS

MENTERI Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo boleh saja ngomong bahwa mulai tahun 2009 tidak ada lagi sekolah negeri setingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) memungut biaya baiay pendidikan pada siswa. Termasuk memungut biaya investasi sekolah seperti uang gedung atau uang bangku. Kata Pak menteri, "Itu kewajiban pemerintah daerah." Walau Menteri Bambang Sudibyo bilang tak ada alasan bagi sekolah, tapi faktanya pihak sekolah selalu saja punya alas an ketika pungutan pada siswa itu terjadi. Jadi, siapa yang akan mengawal omongan pak menteri ini? Lalu siapa yang akan mengawasi serta tindakan apa yang diberikan bila pungutan uang pada siswa negeri tetap terjadi? Lalu, sejauhmana kebijakan pemeirntah itu telah tersosialisasi? Karena, kalimat bebas pungutan di sekolah negeri itu sebenarnya sudah dilontarkan oleh menteri-menteri sebelum Bambang Subdibyo. Tapi, pungutan tetap dan selalu saja terjadi. Orang tua selalu mengeluhkan hal itu. Berbagai trik dilakukan sekolah agar dapat menarik uang dari walimurid, termasuk dengan alasan: sudah melalui rapat komite sekolah dengan walimurid. Padahal, walimurid sendiri banyak yang tidak tahu ada putusan itu. Aneh bukan? Walau Menteri Pendidikan bilang begitu, namun di daerah seringkali ada keengganan pihak Dinas Pendidikan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota mau mensosialisasikan secara merata. Apalagi untuk sekolah-sekolah terpencil. Apakah kondisi ini disebabkan APBN atau APBD provinsi dan kabupaten/kota belum taat konstitusi? Sebab, Undang-Undang jelas-jelas menyatakan bahwa anggaran pendidikan harus 20 persen dari APBN atau APBD semua tingkatan pemerintah daerah. Tapi faktanya, harapan konstitusi itu masih jauh dari harapan. Malah ada daerah yang masih menggabungkan jatah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan APBD sehingga jumlahnya mencukupi 20 persen. Padahal, pos anggaran BOS bukanlah di APBD. Memang, mulai 2009 pemerintah menaikkan gaji guru minimal Rp 2 juta. Lalu dana BOS untuk setiap siswa SD di kabupaten Rp 397.000 dan di Kota Rp 400.000, dari sebelumnya hanya Rp 276 ribu per siswa per tahun. Sedangkan untuk siswa SMP di kota mendapat Rp 575.000 per siswa dan di kabupaten Rp 570.000, dari sebelumnya Rp 354.000 per siswa per tahun. Angka BOS itu sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk operasional sekolah. Tapi sekolah kok masih merasa kurang? Selama ini kontrolnya belum maksimal. Walimurid sendiri terkesan takut bersuara karena takut mempengaruhi nilai anaknya. Kondisi ini yang sering dimainkan pihak sekolah untuk terus meraup keuntungan dari siswa. Apalagi penggunaan dana BOS di tiap sekolah tidak diumumkan secara ke publik secara transparan. Sehingga walimurid mengamini saja ketika pihak sekolah menyatakan dana BOS selalu tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan operasional pendidikan. Mungkin kebijakan ini yang perlu dikeluarkan Menteri Bambang Sudibyo. Bagaimana tiap sekolah memamparkan secara transparan setiap penggunaan dana BOS di sekolahnya masing-masing. Minimal, penerimaan dan pengeluaran dana BOS ini ditempelkan di papan pengumuman sekolah sehingga walimurid mengetahui penggunaan dana tersebut dan control masyarakat bisa berjalan. Bila hal itu tidak dilakukan, mustahil pungutan terhadap siswa akan hilang. Pihak sekolah sangat pintar cari peluang pungutan. Akibatnya, betapa pun pemerintah menaikkan anggaran BOS, sekolah akan selalu mengatakan kurang dan tetap merasa perlu bantuan orangtua. Alasannya, ada 1001. Percayalah. (almudazir)

Tidak ada komentar: