19 November 2008
Menyelamatkan Lingkungan vs Kelaparan
PADA Selasa, 26 Agustus 2008 lalu di Jakarta, Greenpeace Asia Tenggara menggelar pertemuan dengan pebinis kelapa sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki), pengguna kelapa sawit dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dalam pertemuan itu, Greenpeace mendesak industri kelapa sawit melakukan moratorium (jeda sementara) pembukaan perkebunan kelapa sawit di lahan gambut.
Terkait desakan moratorium itu Penasihat politik Greenpeace Asia Tenggara Arief Wicaksana menolak anggapan pihaknya anti-industri sawit. Menurutnya, ajakan moratorium itu justru untuk keberlanjutan industri sawit itu sendiri. Karena itu, dia berharap industri apapun jangan menangguk laba dari lemahnya tata kelola pemerintah. Industri kelapa sawit dinilai menjadi salah satu faktor penting deforestasi/ perubahan iklim di Indonesia (catatan-merah-dutapalma.blogspot.com).
Tawaran moratorium itu, ditolah oleh Gapki. Ketua Harian Gapki Derom Bangun dengan tegas menyatakan prinsip dan kriteria sawit berkelanjutan dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dinilai cukup untuk mewujudkan industri kelapa sawit ramah lingkungan. Derom malah meminta seluruh anggota Gapki -250 perusahaan-mengikuti aturan RSPO yang berdimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Perdebatan pengusaha dan pencinta lingkungan itu memang menarik dan logis. Para pencinta lingkungan termasuk Greenpeace bertujuan untuk menyelmatkan paru-paru dunia. Karena, dari berbagai penelitian ilmiah, memperingatkan bahwa perusakan rawa gambut memberi kontribusi setidak-tidaknya 8 persen terhadap emisi CO2 di dunia yang menyebabkan perubahan iklim. Akibat degradasi rawa gambut diperkirakan antara 136 juta dan 1,42 ribu juta ton CO2 dilepaskan secara berkala di Asia Tenggara. Ini menambah jumlah emisi yang diakibatkan oleh penebangan hutan, hilangnya karbon dalam tanah, penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen, emisi dari mesin pertanian dan hilangnya resapan CO2.
Rawa gambut menutup 3 persen dari daratan dunia (hampir 4 juta kilometer persegi) dan mengandung Karbon dengan jumlah raksasa (kira-kira 528.000 juta ton, atau Mt), sama dengan sepertiga dari semua Karbon di dunia ini dan sama dengan 70 kali emisi dari migas tahun 2006 (7.000 Mt/tahun Karbon atau 26.000 Mt/tahun Karbon dioxida). Karbon diuapkan secara pelan-pelan ke udara lewat:
Uraian itu benar kalau hanya dilihat dari alasan penyelamatan lingkungan. Namun pencinta lingkungan juga harus melihat dari alasan ekonomisnya. Industri sawit jelas tidak mau melakukan moratorium karena mereka juga harus memikirkan perut karyawannya. Moratorium dipandang sebagai alat untuk memperlambat atau menurunkan angka produksi CPO. Sementara mereka tidak bisa menurunkan gaji karyawan dari yang telah ditetapkan. Ini akan jadi dilema. Karena pengusaha sawit lebih setuju memilih RSPO. Selain tidak harus membuat jeda tanam, cost yang dikeluarkan dengan RSPO juga relatif kecil.
Nah, memilih yang satu dari dua opsi ini sangat rumit. Menyelamatkan lingkungan atau kelaparan. Bak pepatah orang minang, daripado bacakak jo galang-galang, bialah bacakak jo urang (daripara kelaparan, lebih bagus berkelahi dengan orang). Karena, daratan Provinsi Riau didominasi lahan gambut. Kalau tidak ditanami, dia akan jadi hutan belantara. Pendapatan daerah tidak ada, masyarakat juga tak dapat kerja. Tak ada kerja, artinya tak makan. Intinya, bukan melarang tanam sawit di lahan gambut, tapi membuat aturan yang jelas bagi setiap perkebunan sawit di lahan gambut. Ini yang perlu didorong greenpeace. Semoga.(almudazir)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar