28 Januari 2009

Potensi Konflik Lahan di Riau

ANGGOTA DPRD Sumbar Raski Soeki mengaku Provinsi Riau terbaik bagus dalam membina masyarakat diperbatasan dengan provinsi tetangga. Karena itu, sejumlah anggota Komisi I DPRD Sumbar mengagendakan untuk belajar ke Riau. Nah, ketika dengan provinsi tetangga, Riau bisa aman, tak begitu halnya di dalam negeri sendiri. Sejumlah konflik perbatasan antara kabupaten, dan tuduhan penyerobotan lahan oleh masyarakat hampir terjadi di semua kabupaten. Sebut saja Kampar, Rohul, Inhu, Rohil, hingga yang baru saja terjadi di Desa Beringin Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Bila dua daerah, Kampar dan Rohul memperebutkan sejumlah desa untuk masuk wilayah kabupaten masing-masing, maka di Desa Beringin, ratusan masyarakat dituduh menyerobot lahan konsesi PT Arara Abadi, anak perusahaan dari PT Indah Kita Pulp and Paper (IKPP), pabrik kertas terbesar di Riau. Mungkin tak putus lagi dengan cara mediasi, manajemen PT Arara Abadi terpaksa harus minta bantuan polisi. Sekitar 500 personil polisi dari Polda Riau, Polres Bengkalis, Rohil, Siak dan Dumai mengusir warga yang telah tahunan berdiam di lokasi itu. Pihak PT Arara marah karena menurutnya masyarakat tidak saja berdiam di lahan konsesi mereka, tapi juga menebangi pohon-pohon yang telah ditanam PT Arara. Dari peristiwa itu serta peristiwa-peristiwa sebelumnya dan di kabupaten lain di Riau, tampaknya Pemerintah Provinsi Riau harus banyak belajar memenej masyarakat sendiri. Pemprov Riau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat bersama pemerintah kabupaten kota yang punya wilayah konsesi, perlu mengkaji lebih dalam lagi. Bila perlu betul-betul turun ke lapangan menjelang izin diteken. Kalau ada warga yang berdiam di lahan itu, mesti dicarikan solusi agar potensi konflik masa depan tidak terjadi. Lalu, ketika izin sudah diberikan, perusahaan juga berkewajiban mengamankan lahannya. Jangan ketika persoalannya sudah besar, masyarakat yang tinggal di lahan itu sudah ratusan dan beranak cucu, baru mereka diusir. Ini memang tragis. Memang, dengan luas wilayah hutan dan perkebunan yang dimiliki Provinsi Riau, potensi konflik lahan sangat besar. Tidak saja pada tuduhan penyerobotan lahan, tapi juga konflik batas lahan. Apalagi pihak perusahaan-perusahaan besar juga seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat, seringkali dimanfaatkan untuk mementingkan diri sendiri. Akibatnya, ketika suatu masyarakat sadar atau disadarkan akan kerugian yang dideritanya dengan sebuah perusahaan, maka perang terbuka sulit dihindarkan. Provinsi Riau punya cukup sarana untuk menjangkau pelosok desa yang kurang prasarana. Kesan yang muncul selama ini, Provinsi Riau hanya kurang pejabat atau petugas yang mau mandi keringat untuk turun ke lapangan mendata langsung tapal batas dan situasi lahan yang akan diberi izin. Foto satelit tak bisa terlalu dipercaya. Ketua RT atau Kepala Dusjn dan desa sebagai unsur pemerintahan terendah, juga seringkali disibukkan dengan urusan sendiri. Bila kondisi dan cara kerja ini tak segera diperbaiki, alamat konflik lahan yang terulang dan akan terulang lagi. (almudazir)

Tidak ada komentar: