28 Januari 2009
Badan Kehormatan Independen
SEANDAINYA Anggota Badan Kehormatan (BK) DPR/DPRD tingkat provinsi, kabupaten dan kota dari kalangan independent, bukan dari internal anggota dewan, mungkin sudah ratusan atau mungkin ribuan wakil rakyat yang terhormat ini diusulkan untuk diberhentikan. Tapi, karena anggota BK masih teman-teman sejawat, sulit aturan bisa berjalan. Apalagi yang melakukan kesalahan itu teman-teman satu fraksi, BK sulit bertindak. Lalu, untuk memenuhi tuntutan publik dicarikanlah alasan-alasan yang ujung-ujungnya kawan-kawan terselamatkan.
Memang, anggota BK terdiri dari perwakilan fraksi-fraksi. Tapi dengan kondisi, selueuh fraksi punya masalah dengan anggotanya. Baik soal kehadiran, atau prilaku-prilaku lain yang jelas-jelas tidak mencerminkan sebagai ANGGOTA DEWAN TERHORMAT yang diharapkan jadi panutan masyarakat. Akibatnya, terjadi kongkow-kongkow politik. BK baru berjalan ketika persoalan mengenai anggota dewan tersebut sudah dicincang media massa, dimamah publik, dan disuarakan banyak sehingga berimplikasi hukum. Itupun terkadang masih didalihkan, menunggu putusan ingkrah sampai ke tingkat Mahkamah Agung.
Jadi wajar, seorang Effendi Choirie gerah dengan suasana itu. Kehadiran rekan sejawatnya sesama anggota DPR RI sangat minim, baik saat pembahasan Rancangan Undang Undang atau berbagai sidang paripurna lainnya. Walau sidang paripurna itu beragendakan persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang notabene merupakan pemlih yang mengantarkan wakil rakyat itu masuk lembaga dewan. Ironis sekali.
Gagasan yang dilontarkan Effendi agar pimpinan dewan mengumumkan anggota yang suka membolos, langsung mendapat respon publik. Dari survey yang dilakukan detik.com, 97 persen pemilih menyatakan setuju diumumkannya para wakil rakyat pembolos tersebut. Hanya 3 persen saja yang kontra. Ini artinya, pimpinan dewan –tidak saja di DPR RI tapi semua tingkat hingga kabupaten kota- harus merespon aspirasi ini demi menegakkan citra lembaga dan citra partai.
Jangan anggap pengumuman anggota dewan pembolos itu sebagai pembunuhan karakter, apalagi menjelang Pemilu 2009. Tapi lihatkan sebagai sebuah upaya untuk memberi penghormatan terhadap lembaga dan agar anggota dewan tersebut tidak mengkhianati harapan yang dititipkan pemilihnya. Gagasan Effendi ini, juga bagian dari tugas dan kewenangan dari anggota Badan Kehormatan. Tapi BK kok justru mbalelo.
Gagasan Effendi ini sebenarnya bisa diformulasikan dalam bentuk lain. Sebagai bentuk ketaatan terhadap aspirasi rakyat serta terjaganya citra lembaga dewan yang terhormat, DPR harus menurunkan egonya dengan menetapkan Badan Kehormatan dari kalangan independen/non partai. Dengan begitu, BK bisa bekerja tidak dalam tekanan, apakah itu tekanan rekan-rekan atau partai. Dan BK independen ini akan lebih jeli membidik anggota pemalas dan pembolos atau berkasus yang tidak sesuai dengan kode etik anggota legislatife.
Dengan BK DPR/DPRD dari Independen, diyakini ketakutan Ketua MPR Hidayat Nurwahid akan tinggi golongan putih (golput) tidak akan terjadi. Bila anggota DPR/DPRD betul-betul bekerja sesuai kode etik dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, rakyat akan berbondong-bondong ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Karena ada keyakinan, anggota dewan yang dipilih nantinya betul-betul berfungsi sebagai penyambung lidah rakyat/pemilihnya.(almudazir)
Potensi Konflik Lahan di Riau
ANGGOTA DPRD Sumbar Raski Soeki mengaku Provinsi Riau terbaik bagus dalam membina masyarakat diperbatasan dengan provinsi tetangga. Karena itu, sejumlah anggota Komisi I DPRD Sumbar mengagendakan untuk belajar ke Riau.
Nah, ketika dengan provinsi tetangga, Riau bisa aman, tak begitu halnya di dalam negeri sendiri. Sejumlah konflik perbatasan antara kabupaten, dan tuduhan penyerobotan lahan oleh masyarakat hampir terjadi di semua kabupaten. Sebut saja Kampar, Rohul, Inhu, Rohil, hingga yang baru saja terjadi di Desa Beringin Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Bila dua daerah, Kampar dan Rohul memperebutkan sejumlah desa untuk masuk wilayah kabupaten masing-masing, maka di Desa Beringin, ratusan masyarakat dituduh menyerobot lahan konsesi PT Arara Abadi, anak perusahaan dari PT Indah Kita Pulp and Paper (IKPP), pabrik kertas terbesar di Riau.
Mungkin tak putus lagi dengan cara mediasi, manajemen PT Arara Abadi terpaksa harus minta bantuan polisi. Sekitar 500 personil polisi dari Polda Riau, Polres Bengkalis, Rohil, Siak dan Dumai mengusir warga yang telah tahunan berdiam di lokasi itu. Pihak PT Arara marah karena menurutnya masyarakat tidak saja berdiam di lahan konsesi mereka, tapi juga menebangi pohon-pohon yang telah ditanam PT Arara.
Dari peristiwa itu serta peristiwa-peristiwa sebelumnya dan di kabupaten lain di Riau, tampaknya Pemerintah Provinsi Riau harus banyak belajar memenej masyarakat sendiri. Pemprov Riau sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat bersama pemerintah kabupaten kota yang punya wilayah konsesi, perlu mengkaji lebih dalam lagi. Bila perlu betul-betul turun ke lapangan menjelang izin diteken. Kalau ada warga yang berdiam di lahan itu, mesti dicarikan solusi agar potensi konflik masa depan tidak terjadi. Lalu, ketika izin sudah diberikan, perusahaan juga berkewajiban mengamankan lahannya. Jangan ketika persoalannya sudah besar, masyarakat yang tinggal di lahan itu sudah ratusan dan beranak cucu, baru mereka diusir. Ini memang tragis.
Memang, dengan luas wilayah hutan dan perkebunan yang dimiliki Provinsi Riau, potensi konflik lahan sangat besar. Tidak saja pada tuduhan penyerobotan lahan, tapi juga konflik batas lahan. Apalagi pihak perusahaan-perusahaan besar juga seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat, seringkali dimanfaatkan untuk mementingkan diri sendiri. Akibatnya, ketika suatu masyarakat sadar atau disadarkan akan kerugian yang dideritanya dengan sebuah perusahaan, maka perang terbuka sulit dihindarkan.
Provinsi Riau punya cukup sarana untuk menjangkau pelosok desa yang kurang prasarana. Kesan yang muncul selama ini, Provinsi Riau hanya kurang pejabat atau petugas yang mau mandi keringat untuk turun ke lapangan mendata langsung tapal batas dan situasi lahan yang akan diberi izin. Foto satelit tak bisa terlalu dipercaya. Ketua RT atau Kepala Dusjn dan desa sebagai unsur pemerintahan terendah, juga seringkali disibukkan dengan urusan sendiri. Bila kondisi dan cara kerja ini tak segera diperbaiki, alamat konflik lahan yang terulang dan akan terulang lagi. (almudazir)
Berkacalah Pada Tragedi Presiden Bush
MUNTADHAR Al Zaidi, wartawan Irak dari media Al-Baghdadia, yang melemparkan sepatu ke Presiden Amerika Serikat George W Bush dalam sebuah konferensi pers, Minggu 14 Desember 2008 lalu, tiba-tiba jadi selebriti. Al Zaidi mendapat simpati dari umat Islam seluruh dunia. Wajah Al Zaidi menghiasi televise-televisi, halaman-halaman Koran dan situs-situs berita di seluruh dunia. Bahkan sepasang sepatu yang dilemparkan Al Zaidi ke Presiden Bush sudah ada yang menawar Rp 110 miliar, karena dianggap bernilai sejarah yang luar biasa.
Masyarakat Islam dunia bahwa berucap, masih untung Presiden Bush hanya dilempari sepatu, tidak bom atau granat. Karena, selama ini Presiden Bush sudah dianggap sebagai penjahat tirani yang telah membunuh lebih 2 juta rakyat Irak dengan invasi militer yang dilakukannya.
Kasus Al Zaidi (28), wartawan muda Irak, terhadap Bush juga dianggap sebagai refleksi protes kegetiran dan tangis rakyat Irak atas invasi AS. Sepatu Al Zaidi adalah bom yang meluluhlantakkan kegarangan Bush. Dunia Islam belum lupa dengan situs Al Qaeda yang menunjukkan video dan foto dua prajurit AS yang tertangkap gerilyawan Irak dan diperlakukan secara sadis. Mereka mengklaim pembunuhan tersebut sebagai balas dendam atas kebengisan, pembunuhan, dan pemerkosaan pasukan AS di Irak.
Bagi Dunia Islam, tindakan itu justru ‘kado perpisahan yang tepat’ bagi Bush. Ratusan pengacara menawarkan bantuan mewakili Zaidi tanpa bayaran. Bahkan, di Libya, putri Moamer Khaddafi, Aisha, akan memberikan penghargaan berupa medali atas keberanian Zaidi. Sementara kelompok militan Syiah di Lebanon, Hezbollah, menyatakan Zaidi seharusnya diberi penghargaan sebagai pahlawan Irak. Presiden Venezuela Hugo Chavez pun mengaku kagum pada keberanian Zaidi. (inilah.com, Rabu 17/12).
Lemparan sepatu Al Zaidi itu, jelas merupakan tamparan keras bagi seorang presiden Negara adikuasa. Karena itu wajar, Presiden Bush memerintahkan Al Zaidi ditahan di zona hijau di tengah Kota Baghdad, tak jauh dari Kedubes AS dan kantor-kantor pemerintahan, dengan penjagaan super ketat. Saudara laki-lakinya, Durgham Zaidi, seperti dilansir news.com.au, Selasa (16/12) mengatakan, satu lengan dan iga Al Zaidi patah.
Kasus wartawan Irak ini, harus jadi pelajaran bagi semua pemimpin dunia, tak tekecuali Indonesia. Reformasi yang digulirkan dengan pertumpahan darah sekaligus mengorbankan harta dan nyawa, tak banyak membawa perubahan di republik ini. Kesengsaraan rakyat justru makin luas. Korupsi makin menjadi-jadi. Penegak hukum tak lagi ditakuti. Rakyat, uruslah diri sendiri.
Jika pemimpin di Indonesia tetap berpola seperti ini, ketika semua program hanya untuk lips service, dimungkin Al Zaidi-Al Zaidi lain juga akan muncul di Indonesia. Nah, sebelum ini terjadi, para pemimpin mesti introspeksi. Jangan butuh rakyat ketika akan pemilu, pilpres atau pemilihan kepala daerah. Ini akan menumbuhkan antipati.
Rakyat sekarang makin berani. Ketika penjara tak lagi ditakuti dan kematian hanya dinilai sebatas sampai ajal, ini sebuah petaka. Merenung dan berdoalah.
Jangan sampai ada George W Bush- George W Bush lain di Indonesia, sehingga berpotensi pula melahirkan Al Zaidi-Al Zaidi berikutnya. Semoga. (almudazir)
Langganan:
Postingan (Atom)