27 Oktober 2007
Lebaran Tanpa Salaman
SUHERMAN, tetangga saya di Padang, betul-betul marah dengan perilaku anaknya, Ade. Pada lebaran lalu, anaknya yang kini berjualan baju di Bekasi, hanya mengirimkan Short Message Service (SMS) padanya, bahwa dia tidak bisa pulang pada Lebaran Idul Fitri 1428 Hijriah. Saat itu sudah dua hari menjelang lebaran.
"Maaf, pa. Saya tidak bisa pulang pada lebaran ini. Saya sibuk jualan. Mohon kirimkan nomor rekening bapak, atau yang lain. Saya mau kirim uang buat beli baju adik" begitu kira-kira pesan SMS yang ditulis Ade, yang saya baca dari ponsel Suherman.
Suherman sangat kesal dengan kabar itu. Bukannya dia tidak mau menerima bantuan anak sulungnya itu, tapi dia sangat rindu ketemu sama anaknya itu. Karena, sudah tiga lebaran Ade tak pulang. Setiap mau lebaran, dia selalu kirim SMS, mengabarkan tidak bisa pulang, sibuk jualan atau alasan lainnya yang tidak bisa diterimanya.
"Bukannya saya tidak butuh uang. Tapi yang penting, di hari baik bulan baik ini, kesempatan untuk bersilaturahmi dengan keluarga serta sanak famili. Tak memberi uang pun, bagi saya ndak apa," kata Suherman. Wajahnya terlihat agak sedih.
Menurut Suherman, lebaran ini momen untuk berkumpul keluarga serta saling bersalaman, saling bermaafan dengan snaka famili terhadap apa yang telah diperbaut, disengaja atau tidak. Kalau hanya lewat SMS, kita tahu ketulusannya. kalau dengan orang lain yang tidak ada hubungan keluarga, masih bisa ditolerir. Kalau dengan keluarga sendiri, harus saling mengunjungi. Bertemu muka, memperlihatkan keputihan hati, kebersihan jiwa.
"Karena itu saya perlu dia hadir di rumah ini. Bersalaman dengan keluarga, snaka famili dan tetangga. terus, apa benar dia sehat seperti yang dikabarkannya. Tidak seperti anak teman saya, dikabarkan sehat-sehat saja. Ketika dikunjungi, ternyata sudah kurus kerempeng. Badannya kumal. Tidak terurus," keluh Suherman.
Aku berpikir, benar juga apa yang disampaikan tetanggaku itu. Teknologi telepon selular, memang telah membuat komunikasi menjadi tak berjarak. Namun, apakah kita tahu, orang di seberang itu berbohong atau tidak. Memang telah ada teknologi 3G untuk bisa melihat lawan bicara kita, tapi biayanya sangat mahal. Harga ponselnya saja tidak kurang dari dua juta.
"Pokoknya saya perlu kamu pulang. Nggak usah kasih uang pun tak apa. Walau hanya satu jam di rumah, habis itu kalau mau balik lagi silahkan," suara Suherman terdengar cukup keras. Dia memutuskan untuk menelpon anaknya itu, karena tidak puas hanya berkomunikasi lewat SMS.
Saya juga tak bisa bicara banyak. Saya hanya menyarankan pada Suherman, kalau Ade tidak pulang, ada baiknya disusul saja ke Bekasi. "Sekaligus memastikan, apa benar dia jualan baju," saranku.
Suherman menerima saran saya. Tapi kemudian dia berpikir, dengan apa ke sana. Sehari-hari dia hanya bekerja sebagai kuli bangunan. Penghasilannya setiap minggunya hanya cukup untuk biaya hidup dan sewa kontrakan. Kalau lagi bayar uang sekolah anak perempuannya yang kini sudah di sekolah menengah, terpaksa dia pinjam tetangga dan pembayarannya dicicil tiap minggunya.
Persoalan lain, dia tidak pernah ke Jawa. Kalau bawa orang lain, biayanya jadi membengkak.
"Saya juga tidak tahu pasti, apa benar dia sekarang di Bekasi atau tidak," katanya.
"Coba saya bapak SMS lagi. Dia di Bekasi-nya di mana. Trus, kalau dari Padang naik apa biar mudah. Bilang juga bapak mau ke sana. Kalau untuk ongkos bus ke sana, biar saya bantu," kata saya.
Suherman lalu mencoba mengirim pesan SMS pada anaknya. Namun beberapa lama ditunggu, tak juga dijawab. Lalu diteleponnya, nada panggil ada tapi tak diangkat. "Anak keparat!! makinya.
Lalu Suherman kembali mengambil ponselnya dan menulis SMS. "Bapak perlu kamu pulang. kalau belum juga bisa pulang, tak usah aja kirim SMS atau telepon. Percuma, kami juga tak akan membalas," SMS itu lalu dikirimnya.
Sampai saya kembali berangkat kerja ke Pekanbaru, empat hari kemudian, Ade belum juga menjawab SMS bapaknya. (almudazir)
19 Oktober 2007
Miskin Akibat Pemekaran
* DPRD Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Berkunjung ke DPD RI
PEMEKARAN membuat penghasilan daerah Kabupaten Sawahlunto Sijunjung menjadi jauh berkurang. Apalagi sejumlah aset-aset penting dan potensial, berada di wilayah Kabupaten Dharmasraya, sebagai kabupaten baru hasil pemekaran. Termasuk ribuan hektare perkebunan dan wilayah hutan produksi, yang selama ini menjadi lumbung Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sawahlunto Sijunjung.
Akibatnya, untuk membangun kembali Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), yang kini berada di wilayah Kabupaten Dharmasraya, Pemkab Sawahlunto Sijunjung tak lagi punya uang. Begitu juga untuk membangun sarana dan prasarana lain, pemkab bumi lansek manih ini sangat kewalahan. Sekitar 70 persen dari wilayah hutan yang ada, terdiri dari hutan lindung.
Prihatin dengan kondisi itu, Rabu (26/9) lalu, delegasi DPRD Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, menemui Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, H Irman Gusman SE, serta anggota DPD RI daerah pemilihan Sumbar, Mochtar Naim dan Afdal. Sementara, Zairin Kasim, berhalangan hadir karena masih diliputi duka atas kematian saudaranya, Moyardi Kasim, akibat tertimpa runtuhan gedung akibat gempa yang mengguncang Sumatera beberapa waktu lalu.
Para delegator yang dipimpin Ketua DPRD Sawahlunto Sijunjung, Asnam Malin, diterima Irman Gusman, didampingi Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPD, Siti Nurbaya Bakar, di ruangan kerjanya, Lantai 8, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen. Para legislator Sawahluto Sijunjung ini, menyampaikan tiga pokok persoalan yang menjadi kerisauan mereka bagi pembangunan kabupaten tersebut kedepan.
Menurut Irman, merupakan tugas DPD untuk selalu berkomunikasi dengan para stakeholder di daerah masing-masing. "DPD menjadi penghubung antara pusat dan daerah," jelasnya. Para stakeholder dimaksud adalah kelompok atau organisasi masyarakat, gubernur, bupati, walikota, serta DPRD.
Asnam Malin menuturkan, sebagai penduduk daerah mereka menemui wakil-wakilnya di pusat atau yang diistilahkan dengan pucuk. "Memang pucuknya di sini. Kami dari bawah, dari akar, ingin ke pucuk. Kalau pucuk itu subur, buahnya akan subur pula. Kalau istilah di kampung, buah nan labek, daun nan rimbun, isi nan manih. Jadi, semua bersinergi."
Atas nama rombongan Komisi B yang membidangi ekonomi dan kesejahteraan rakyat, mewakili 25 anggota DPRD Sawahlunto Sijunjung, selain bersilaturahim dengan anggota DPD asal Sumatera Barat mereka juga menyampaikan sejumlah persoalan daerah. "Apo nan bisa dibantu, dari utusan daerah untuk daerah," ucap Asnam.
Asnam menguraikan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sawahlunto Sijunjung berencana membangun RSUD. Dulunya, RSUD yang semula berlokasi di wilayah Kabupaten Sijunjung, setelah pemekaran Sawahlunto Sijunjung pada awal Januari 2004 beralih menjadi aset Kabupaten Dharmasraya.
Kendati telah dialokasikan Rp 25 miliar dalam APBD 2007, tetap saja tidak mencukupi. Padahal, pekerjaan fisik diharapkan mulai awal 2008. "Selama ini kami tidak punya, kalau mau punya dibangun yang bagus tentu dengan anggaran besar."
Selanjutnya, Sawahlunto Sijunjung sebagai daerah tujuan transmigrasi yang mengambil lahan di seberang Batang Kuantan, lanjutan Batang Ombilin. Untuk menghubungkan kedua sisi Batang Kuantan maka harus dibangun jembatan sepanjang 150 meter.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi bersedia berbagi fifty-fifty dengan Pemda Sawahlunto Sijunjung, yaitu lahan pembangunan jembatan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sementara bahan pembangunan jembatan dari Pemkab Sawahlunto Sijunjung.
"Selain itu, dengan pemekaran hampir 49 persen wilayah potensial di Sawahlunto Sijunjung akan hilang. Yang tertinggal hanya hutan lindung yang mencapai 70 persen dari wilayah hutan, sisanya perkebunan. Dengan status hutan lindung, penduduk dan pemkab tidak bisa mengembangkan usaha perkebunan berskala besar. "Kalau mengundang investor, terganjal hutang lindung," ujarnya. Dulunya, sebelum pemekaran wilayah perkebunan terletak di daerah-daerah yang menjadi bagian Kabupaten Dharmasraya.
"Kami berharap, keberadaan hutan lindung tersebut dikompensasikan dengan dana penerimaan untuk Sawahlunto Sijunjung. Sekarang kan tak ada," ucapnya. Karena itulah, mereka berencana ke Departemen Kehutanan untuk mempertanyakan masalah itu.
Menanggapi hal itu, Irman mengatakan, DPD sangat mendukung pendirian RSUD. Ia meminta Pemkab Sawahlunto Sijunjung menyampaikan detil bangunan RSUD beserta nilai dan pembiayaan proyeknya kepada anggota DPD. Demikian pula dengan bahan-bahan transmigrasi.
Mengenai keberadaan hutan lindung, Irman menghubungkannya dengan global climate change yang menyebabkan perubahan iklim dan temperatur dunia. Karena itu, negara-negara di dunia mengharapkan Indonesia berpartisipasi menjaga kelestarian hutan tropisnya dalam rangka menahan perubahan iklim dan temperatur dunia secara drastis.
Tentu tidak berkeadilan jika daerah hanya menjaga kelestarian hutan saja, sementara penduduk sekitar hutan dan di bagian lain daerah bersangkutan tetap dalam keadaan miskin. DPD berpendapat, keberadaan hutan lindung di suatu daerah perlu diperhitungkan dalam formulasi dana alokasi umum (DAU). "Tidak fair juga. Tentu harus dikompensasi," tuturnya, seraya menandaskan wilayah provinsi Sumatera Barat sendiri terdiri atas hutan lindung 70 persen.
Hanya saja, Irman mengingatkan, kalaupun hutan lindung itu dikonversi menjadi perkebunan jangan sampai dikuasi hanya satu atau dua kelompok pengusaha. Bukan berarti alergi terhadap monopoli pengusahaan perkebunan melainkan agar penduduk sekitar juga beroleh manfaat pengonversian.
Sementara itu, Mochtar Naim menggambarkan secara menyeluruh sekaligus mengevaluasi pemerintah daerah dan masyarakat Sumbar. Fokus perhatiannya adalah tiga sumber daya, sumber daya alam (SDA), sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya budaya (SDB). Ia mengidentifikasi, masalah topografi dan geografi di Sumbar adalah kesenjangan dikotomis antara pedalaman yang relatif maju dengan sepanjang pesisir pantai yang relatif terbelakang, kecuali bagian lingkaran tengah sampai pantai.
Kesenjangan dikotomis topografi dan geografi lainnya, sambung Mochtar, antara daerah pedalaman lingkaran tengah dengan pedalaman lingkaran luar. Daerah ini menjadi reservoir rimba yang sangat berguna bagi kesuburan dan kelestarian lingkungan dengan pendaman SDA-nya. Walaupun cukup beragam tetapi sejauh yang dieksplorasi tak satupun laik dieksploitasi, karena magnituda volume depositnya yang terbatas.
Tinggallah daerah lingkaran luar dan periferal yang berbatasan dengan provinsi-provinsi tetangga, yang SDA-nya kaya tetapi sudah "digadaikan" atas nama pembangunan kepada para kapitalis atau investor dalam dan luar negeri. "Kepintaran" para pejabat Orde Baru dengan semangat "atas nama pembangunan" yang terbudur menggebu-gebu, ungkapnya, berhasil membujuk rakyat menyerahkan tanah ulayat mereka disertai ganti-rugi berupa siliah-jariah sekadarnya.
Menurutnya, otonomi daerah baru berarti sebagai sebuah seni memerintah kalau SDA-nya terbatas tetapi SDM dan SDB-nya kaya dan berpotensi. Itu karena kemampuan merangkai dan mengawinkan ide-ide yang baik dari mana-mana, sehingga walaupun Sumbar miskin SDA dan kedodoran SDM, tapi kaya dengan potensi SDB. Kearifan budaya Minangkabau itulah yang dimanfaatkan menyongsong masa depan yang cerah di bawah kebijaksanaan para pemimpin yang memikirkan rakyatnya, tidak memikirkan diri sendiri. (almudazir)
08 Oktober 2007
Tugas Pertama dari Indopersda
AWAL tahun 2007, saya ditelepon oleh Alfian Zainal, rekan saya yang saat itu menjabat sebagai redaktur di Harian Pagi Tribun Batam. Alfian menugaskan saya untuk meliput tragedi tanah longsor di Nagari Air Dingin, Kabupaten Solok.
Saya terkejut dengan perintah Alfian tersebut. Karena, saat itu saya belum lagi menjadi wartawan dari Kelompok KOMPAS GRAMEDIA, walau saya telah melalui psikotes dan wawancara, tapi belum dinyatakan lulus.
"Abang -sapaan akrab kami- segera berangkat ke lokasi. Sorenya laporan sudah harus dikirim, saya tunggu," perintah Bang Alfian.
Saya terkejut sekaligus berpikir. Dengan apa pula saya ke lokasi, ditambah lagi saat itu saya tidak punya uang yang cukup. Berangkat dengan motor, jelas tidak mungkin. Selain lokasinya cukup jauh, berjarak sekitar 60 kilo meter dari Kota Padang serta penuh tanjakan dan penurunan yang tajam.
Akhirnya saya putuskan untuk kembali menelepon Alfian, menanyakan soal biaya ke lokasi serta kemugkinan biaya apa saja yang akan ditanggung. Alfian menjawab, "kalau tidak mungkin berangkat dengan motor, pake mobil saja. Tapi laporan biaya harus ada bukti. Bila tidak sulit diklaim kantor," ujarnya.
Mendapat peluang seperti itu, saya lalu menghubungi Adrian Tuswandi dan Lindo Karsyah -dua rekan wartawan di Padang- yang sama-sama ikut tes dengan saya. Saya katakan saja, "Kita mendapat tugas dari Tribun Batam, untuk meliput musibah longsor di Kabupaten Solok."
Alhamdulillah, kedua kawan itu setuju berangkat. Maka, saya mulai menghubungi seorang teman untuk menyewa mobil rentalnya. Kebetulan, mobilnya lagi tidak disewa orang. Saya lalu menjemputnya, setelah itu berencana menjemput Adrian dan Lindo.
Ketika saya sedang mengendarai mobil itu, teringat bahwa saya tidak punya uang di kantong. kalau mobil, bisalah dibayar setelah dikembalikan, namun untuk beli minyak atau makan, jelas tidak bisa ditunda. Saya mesti memutar otak lagi, agar persoalan ini dapat teratasi. Saya hubungi Lindo, kondisinya sama. Begitu juga dengan Adrian, walau uangnya ada, tapi tetap saja tidak cukup untuk beli bensin dan makan kami bertiga.
Akhirnya saya putuskan untuk meminjam uang istri. Saya katakan bahwa saya dapat tugas dari Harian Tribun Batam, satu dari koran Kelompok KOMPAS GRAMEDIA, tempat saya sebelumnya mengikuti tes. Ternyata istri saya memaklumi dan bersedia meminjamkan uang yang merupakan untuk biaya hidup kami sebulan. Setelah menjemput uang itu ke kantor istri saya, langsung saja menjemput Adrian ke rumahnya. Lindo yang saat itu ada diskusi di kampus Universitas Andalas di Limau Manis, terpaksa menunggu di Pasar Baru.
Lalu, sepeda motor Lindo ditarok di mana? Bila diantar dulu ke rumahnya, jaraknya cukup jauh dari Pasar Baru. Cukup menyita waktu dan menghabiskan minyak. Setelah didiskusikan, akhirnya kami memutuskan untuk menitipkan motor Lindo di kantor Koramil Pauh, tidak jauh dari simpang Pasar Baru. Sedikit menjelaskan maksud dan tujuan kami pada petugas piket, akhirnya motor Lindo dititipkan di kantor tersebut. Bertiga, kami berangkat menuju lokasi musibah. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Perjalanan menuju lokasi diperkirakan memakan waktu sekitar 2 jam.
Ketika kami sudah sampai di simpang menuju lokasi longsor, dari arah berlawan muncul rombongan Mensos Bachtiar Chamsyah dan Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi, yang baru saja meninjau lokasi. Otomatis, suasana di simpang itu jadi macet. Belum lagi ojek dan kendaraan sanak famili dari keluarga korban, membuat kami mesti menunggu beberapa saat untuk bisa masuk menuju lokasi yang jalannya cukup sempit dan licin. Karena lokasi longsor berjarak sekitar tujuh kilo meter dari simpang itu, jelas tidak mungkin kami tempuh dengan jalan kaki. Bisa-bisa pesan Alfian Zainal agar kami mengirim berita hari itu juga tidak kesampaian. Karena itu, kami paksakan masuk dengan mobil.
Lokasi pertama yang kami kunjungi adalah posko bencana. Posko ini terletak di sebuah sekolah dasar, yang berjarak sekitar dua kilo dari lokasi longsor. Mungkin karena hanya di sekolah itu satu-satunya lokasi yang agak luas, sehingga Bupati Solok, Gusmal, memilihnya untuk dijadikan posko, meski agak sedikit jauh dari lokasi.
Setelah mendapat informasi awal, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi. Saya, Adrian dan Lindo, lalu membagi tugas. Saya mewawancarai keluarga korban meninggal sambil mengambil foto rumah yang ambruk. Lindo mewawancarai warga yang rumahnya terkena longsoran serta mendeskripsikan suasana. Adrian mencari tokoh masyarakat dan kepala dusun serta saksi lainnya.
Astagfirullah..! Tujuh rumah rata dengan tanah akibat dihantam tanah longsoran dan kayu-kayu-kayu yang dihanyutkan air.
Cerita tokoh masyarakat setempat, sebenarnya longsor bukan di lokasi itu, tapi jauh di bukit tepi hutan. Tanah longsoran bukit itu menutup anak sungai sehingga membentuk tanggul. Ketika hari hujan, tanggul yang tidak kuat lagi menahan air yang mengalir dari hulu, akhir jebol. Ratusan mungkin ribuan kubik tanah longsoran serta bebatuan dibawa air, lalu melanda perumahan penduduk yang berada di tepi sungai. Tujuh orang dinyatakan meninggal tertimbun tanah, termasuk tiga remaja yang malam itu tidur di mushalla, karena mushalla itu ikut rata dengan tanah. Smeentara korban yang luka-luka telah dilarikan ke rumah sakit Angkatan Darat di Kota Solok. Karena itu, seusai melengkapi data di lokasi, kami melanjutkan perjalanan ke rumah sakit yang berjakat sekitar 30 kilo meter dari lokasi longsor. Di rumah sakit, kami mewawancarai para korban, termasuk seorang wanita yang sedang hamil tua. Dia selamat dari reruntuhan rumahnya, meski tubuhnya sedikit lecet. Kemudian kami balik ke Padang untuk membuat laporan.
Setelah makan malam, kami sepakat membuat laporan di kantor saya saat itu, Mingguan Tribun Sumbar. Di sini, ada beberapa komputer, sehingga kami bisa sama-sama bekerja. Setelah semua selesai, termasuk mengedit foto, Adrian dan Lindo langsung pulang. Sedangkan saya berangkat ke warnet untuk mengirim berita dan foto ke Harian Tribun Batam.
Untuk memastikan apakah berita itu layak muat atau tidak, esoknya saya telepon Alfian Zainal. "Beritanya udah dimuat, lihat saja di website Tribun Batam," ujar Alfian.
Benar, berita itu dimuat. Berita kami bertiga digabung menjadi dua berita yang dimuat dua hari berturut-turut.
Apakah dengan pemuatan berita itu kami sudah dipastikan lulus tes? Entahlah. Tapi yang pasti, ketika pengumuman hasil tes wawancara, PSDM PT Indopersda Primamedia, Charlie mengatakan bahwa kami lulus tes dan akan dilanjutkan dengan tes kesehatan. "Tunggu informasi berikutnya," kata Charlie, lewat ponselnya.
Akhirnya kami memang diterima. Dari 10 calon redaktur yang ikut tes awal, lima dinyatakan lulus dna berhak ikut pelatihan di Tribun Batam, yakni saya, Lindo, Adrian, Rinaldi dan Harismanto. Setelah menjalani pendidikan selama satu setengah bulan di Harian Tribun Batam, kami dilepas ke medan laga di Pekanbaru, bergabung dengan teman-teman lain. (*)
Langganan:
Postingan (Atom)