18 Desember 2008

Pelabuhan Khusus Impor di Dumai

MENTERI PERDAGANGAN RI Mari Elka Pangestu tampaknya tak bergeming soal tuntutan stakeholder Kota Dumai yang dalam Tim 17 serta Pemerintah Kota Dumai yang menolak Permendag No 44 tahun 2008 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Sebab, bila dilihat dari alasan penundaan pemberlakuan permendag 44/2008 itu dari semula 15 Desember menjadi 1 Januari 2009, karena pemerintah tak ingin impor barang terganggu menjelang perayaan natal dan tahun baru 2009. Tak ada kata revisi dari Permendag 52/2008 tentang penundaan pemberlakukan permendag 44/2008 itu. Artinya, Tim 17 Perjuangan Penolakan Permendag 44/2008 belum bisa berbesar hati. Alasan yang disampaikan Mendag Mari E Pangestu itu setidaknya membuka pikiran kita bahwa sebenarnya mendag keberatan menambah lagi pelabuhan khusus impor yang telah tertuang dalam Permendag 44/2008. Apalagi Mendag Mari pernah mengaku tak ikut campur soal tidak ditetapkannya Pelabuhan Dumai sebagai pelabuhan khusus untuk 5 produk tertentu. Mendag beralasan penetapan 5 pelabuhan yaitu Belawan Medan, Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak dan Pelabuhan Soekarno Hatta terkait Permendag No 44 tahun 2008 sudah menjadi keputusan bersama dibawah koordinasi menteri perekonomian dan usulan dari Ditjen Bea dan Cukai. Masukan dari bea cukai ke mendag, 5 pelabuhan itu mewakili impor terbesar di  5 produk tersebut. (Mendag 'Lempar Handuk' Soal Permendag No 44 Tahun 2008, detik.com/Kamis, 4/12/08). Dari alasan mendag itu, bisa ditangkap bahwa sebenarnya yang sangat berperan dalam penentuan pelabuhan khusus impor itu adalah Bea dan Cukai. Sebab, Bea dan Cukai selaku instansi yang berwenang dan lebih tahu legalitas arus keluar masuk barang. Dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pasti telah berkoordinasi dengan seluruh perwakilan kantor Bea dan Cukai sebelum mengusulkan ke mendag untuk bahan pertimbangan penetapan pelabuhan khusus impor. Hingga akhirnya mendag menetapkan 5 pelabuhan dan bandara internasional tersebut. Nah, kini yang jadi tanya tanya, tentang Pelabuhan Dumai, seperti apa laporan Kantor Bea dan Cukai Dumai, sehingga Pelabuhan Dumai tidak masuk dalam kategori Pelabuha Khusus Impor Produk Tertentu seperti yang tertuang dalam Permendag 44/2008 tersebut? Ini harus mesti jadi pertanyaan besar bagi Tim 17. Karena, kalau dikutip pernyataan Kepala Bidang Pelanggaran dan Keselamatan (Kabid Gamat) Administrateur Pelabuhan Dumai, M Natsir Ritonga saat Pertemuan Tim 17 dengan Muspida Kota Dumai di Hotel Grand Zuri, Ahad (14/12), diungkapkan bahwa dari segi pendapatan, berdasarkan data yang diperoleh Adpel, Pelabuhan Dumai lebih besar mendatangkan pendapatan dibandingkan Pelabuhan Belawan yang dalam Permendag No 44/2008 dimasukkan sebagai 5 Pelabuhan Impor Nasional. Selain itu dari tingkat kedalaman alur perairan, Pelabuhan Dumai lebih menjamin bisa berpeluang dimasuki kapal-kapal import jika dibandingkan dengan Pelabuhan Belawan. Setelah itu muncul pertanyaan, sudahkah Tim 17 berkoordinasi dengan Kantor Bea dan Cukai Dumai, lalu koordinasinya seperti apa? Sudahkah Tim 17 melihat laporan Kantor Bea dan Cukai Dumai ke Ditjen Bea dan Cukai terkait Pelabuhan Dumai? Logikanya, bila Pelabuhan Dumai memang mendatangkan penghasilan lebih besar dan kedalaman alur perairan lebih menjamin dimasuki kapal impor jelas tidak mungkin tak masuk tak masuk kategori Pelabuhan Khusus Impor. Artinya, ada informasi yang tidak lengkap yang sampai ke meja mendag. Ini salah siapa? (almudazir/tajuk Harian Umum Riau Pesisir, 16 Desember 2008)

Wacana ‘Menyesatkan’ Hidayat Nurwahid

KETUA MPR RI Hidayat Nur Wahid tiba-tiba mewacanakan fatwa haram bagi golput alias warga yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Untuk memuluskan wacana itu, Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini membujuk organisasi Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah untuk mengeluarkan Fatwa Haram bagi para golongan putih (golput) tersebut. Kontan saja, wacana yang dilontarkan Hidayat menggelinding bak bola panas. Kecaman pun bermunculan. Sebagai pimpinan tertinggi lembaga pembuat Undang Undang, Hidayat seharusnya tidak mengeluarkan gagasan yang justru bertentangan dengan Undang Undang. Sebab, UU sendiri tidak mewajibkan masyarakat memilih dalam Pemilu. Lagipula, soal halal, haram atau makruh merupakan hukum Agama yang jelas tidak bisa disamakan dengan hukum tatanegara. Tanpa bermaksud menggurui, tak mungkin Hidayat tak paham bahwa pemilih dalam Pemilu tidak hanya warga Muslim. Jadi, tidak semuanya bisa dijadikan fatwa. Karena itu wajar, Direktur Eksekutif IndoBarometer M Qodari mengatakan bahwa wacana yang dilontarkan Hidayat Nur Wahid itu menyesatkan. Masyarakat tidak bisa dipaksa memilih. Seharusnya, Hidayat Nur Wahid atau PKS, atau partai-partai lain yang punya keterwakilan di DPRD dan DPR RI introspeksi, kenapa begitu rendah partisipasi masyarakat dalam memilih. Perjuangan apa yang telah dilakukan untuk rakyat yang diwakili. Terasa kah penderitaan rakyat oleh para anggota dewan yang terhormat tersebut. Tidak seperti sekarang, lazimnya jika mewakili seseorang maka yang mewakili tersebut menjadi nomor dua. Tapi fakta yang terjadi, justru yang mewakili pula yang minta dilayani. Ironisnya, masyarakat sudah tidak merasakan ada wakilnya yang diharapkan sebagai penyambung lidah. Inilah yang akhirnya memunculkan antipati. Hitungan-hitungan masyarakat sederhana saja, pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos, sedikitnya menghabiskan waktu satu jam atau mungkin bisa setengah hari. Nah, kalau waktu selama itu dimanfaatkan untuk jualan atau bekerja untuk mencari sesuap nasi, mungkin lebih berarti. Toh, waktu adalah uang. Masyarakat melihat, pergi ke TPS tidak ada untungnya, justru rugi yang didapat. Sikap itu muncul, karena para anggota dewan juga. Ketika sudah duduk enak, tak ingat lagi yang memilihnya. Bahkan ada anggota dewan yang selama 5 tahun hampir tak pernah turun ke daerah pemilihan menemui pemilihnya. Jika Hidayat Nur Wahid dan PKS terus menggelontorkan wacana Fatwa Haram itu, bisa-bisa berdampak menurunkan popularitas PKS sendiri di mata publik. Agama jelas bukan politik. Aturan agama landasannya Alquran dan hadist yang tidak pernah berubah sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Sementara aturan politik, saat sarapan pagi A, setelah makan siang bisa saja jadi D. Jadi, janganlah dicampurbaurkan. Jangan biasakan, semua bisa masuk wilayah politik. Pada akhirnya justru akan lebih memperbesar golput. Karena masyarakat tahu, tidak ada sedikitpun kepentingan perut masyarakat dengan wacana fatwa haram tersebut. Justru bisa berdampak masyarakat makin kelaparan, karena harus membuang sekian jam waktunya untuk ke TPS. Sementara nasib mereka tak jua berubah. Benar apa yang dikatakan Pengamat Politik UI, Arbi Sanit, dalam sebuah talkshow, Sabtu (13/12), yang dilansir situs inilah.com, kalau MUI menyatakan haram berarti bertentangan dengan demokrasi karena golput atau tidak itu sama haknya. Kalau terjebak di situ, maka MUI sudah jadi politisi bukan lembaga agama. MUI harus sadar untuk tidak melibatkan diri terlalu jauh dalam persoalan-persoalan politik. Arbi menganalogikan politik lebih banyak abu-abunya jika dibandingkan hitam putih (halal atau haram), sedangkan agama urusannya hitam putih. Oleh karena itu, agama tidak bisa diparalelkan politik. Begitu juga dengan politik yang tidak disemetrikan dengan agama. Kalau masuk ke politik, MUI sudah terpuruk ke dalam bumi bukan lagi ke akhirat. Fatwa masalah agama, urusan masuk surga. Pemilu jangan disamakan dengan surga. Pak Hidayat Nur Wahid, Ketua MPR dan mantan Presiden PKS, coba renungkan lagi.(almudazir)

Multiplier Effect Bandara Umum di Dumai

Kepala Dinas Perhubungan Dumai Drs Syafruddin Kamal MM saat audiensi dengan Menteri Perhubungan Jusman Syafei di ruang kerja Menhub, 29 Oktober 2008 lalu. PENGALIHAN pengelolaan Bandar Udara (Bandara) Pinang Kampai dari PT Pertamina UP II Dumai ke Pemerintah Kota Dumai, merupakan satu langkah maju bagi pembangunan dan perkembangan perekonomian Kota Dumai. Mengapa tidak, pengalihan dalam bentuk pinjam pakai itu sejalan dengan perubahan status Bandara Pinang Kampai dari Bandara Khusus ke Bandara Umum. Artinya, semua maskapai penerbangan komersil berpeluang mendarati bandara ini. Dikatakan langkah maju, akan banyak sekali multiplier effect dari beroperasinya bandara tersebut. Tingginya mobilitas pejabat pemerintahan, legislative, pebisnis dan berbagai aktivis organisasi lain di Kota Dumai serta daerah tetangga Bengkalis, Rokan Hilir, Duri dan bahkan mungkin Kabupaten Siak, menyebabkan peningkatan kebutuhan arus transportasi udara. Bila selama ini mereka harus mengeluarkan cost yang cukup besar untuk berangkat ke Jakarta, karena harus dari Bandara Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, maka dengan beroperasinya Bandara Pinang Kampai, jelas lebih efektif dan efisien. Efsiensi tidak saja dari aspek waktu tapi juga biaya. Warga dari Duri jelas lebih memilih berangkat dari Bandara Pinang Kampai yang jarak tempuhnya hanya sekitar 1 jam, daripada Bandara Sultan Syarif Kasim dengan jakar tempuh 4 jam dari Duri, bila ingin berangkat ke Jakarta. Sama halnya dengan warga di Rohil, Bengkalis dan sekitarnya. Nah, dengan tingginya arus masuk orang ke Dumai, otomatis peredaran uang juga akan makin besar. Minimal, sambil menunggu keberangkatan, air mineral agak sebotol akan mereka beli juga. Bisa saja mereka makan dan minum dulu sebelum berangkat. Atau mungkin mereka menginap dulu semalam di Dumai. Semua itu jelas menambah peredaran uang di Dumai, sejalan dengan peningkatan pendapatan warga Kota Dumai. Dengan begitu, hotel-hotel di Dumai akan kebanjiran tamu. Pedagang-pedagang makanan dan minuman bakal panen. Tukang parkir pun akan ikut ketiban rezeki. Bayangkan, bila satu hari ada 2 atau 3 penerbangan dengan jumlah seat terisi rata-rata 50 penumpang saja, maka akan ada minimal 100 atau 150 orang yang berpotensi menebarkan uangnya di Kota Dumai dalam berbagai transaksi. Itupun kalau dia berangkat sendiri. Bial diantar saudara, sopir dan lainnya, jumlah akan membengkak lagi. Karena, fenomena hari ini, jarang terlihat penumpang pesawat yang datang sendiri ke bandara untuk berangkat. Lebih dominan mereka diantar istri, anak atau keluarga lainnya, minimal sopir. Dan jarang pula terjadi, begitu sampai di bandara langsung naik pesawat. Tetap ada selang waktu untuk ngobrol, ngopi, makan atau sekedar beli air mineral. Karena itu, seharusnyalah masyarakat Bengkalis, Rohil apalagi Dumai, mensyukuri dan mendukung operasional bandara ini. Karena, tidak saja bagi warga Dumai, keuntungan juga diperoleh warga kabupaten tetangga ini bila ingin bepergian ke Jakarta, Batam atau mungkin Negara tetangga yang dimungkinkan rutenya dibuka oleh maskapai yang masuk nantinya. Cobalah hitung sendiri, berapa biaya yang mesti dikeluarkan bila hendak ke Jakarta lewat Bandara Sultan Syarif Kasim Pekanbaru, bila kita dari Bengkalis, Rohil atau Dumai dan sekitarnya. Mana yang murah bila dari bandara Pinang Kampai? (almudazir) foto bandara. dok.skyscrapercity.com

Ucapan GM Pelindo Sulut Emosi

IMRAN Iskandar, GM Pelindo cabang Dumai tiba-tiba jadi sorotan. Sejumlah aktivis LSM dan kalangan penulis berita menjadikannya sebagai ‘musuh bersama’. Pangkal bala kemarahan itu bermula dari beredarnya rekaman ucapan Imran dalam pertemuan dengan perwakilan karyawan Primer Koperasi Karyawan Maritim (Primkokarmar) yang notabene bernaung di bawah Pelindo I Cabang Dumai. Dalam rekaman yang telah beredar luas di kalangan aktivis LSM dan wartawan di Kota Dumai, Imran berucap, "Jika ingin menjadi preman lebih baik keluar sebagai karyawan Primkokarmar dan bekerja sebagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) atau wartawan, lalu lakukan kritikan terhadap sistem manajemen PT Pelindo. Mau preman-preman, you tidak cocok di koperasi. Kalau mau preman-preman, you kerja LSM lah sebut ke pak Sihite saja, kalau you suka kerja di LSM, wartawan, keluar aja di pelabuhan, baru hantam-hantam kita, hantam kalau Pelindo ini begini, korupsi apa semua." Mendengar rekaman itu, sontak aktivis LSM dan wartawan meradang. Ucapan Imran dinilai mengandung unsur pelecehan dan penghinaan profesi. Tidak ada angin, tidak ada badai, Imran Iskandar menyamaratakan preman dengan LSM dan wartawan. Secara sadar atau tidak, Imran jelas telah menyulut api permusuhan. Para wartawan berang, dan kalangan aktivis LSM juga meradang. Stempel preman yang dilekatkan petinggi Pelindo Dumai kepada kalangan aktivis LSM dan jurnalis itu telah menorehkan kekecewaan. Apalagi itu keluar dari mulut seorang General Manager yang notabene berasal dari pejabat pilihan. Mungkin tak perlu diajarkan lagi. Tapi, sebagai pejabat publik yang baik, Imran Iskandar semestinya tidak mengeluarkan pernyataan secara serampangan. Prinsip berpikir sebelum bicara mungkin bisa diterapkan. Dengan begitu, saat pernyataan dikeluarkan tidak ada orang yang merasa dirugikan. Ibarat kata pepatah, mulut mu harimau mu. Jangan tebar kebencian karena ucapan yang asal-asalan. Anehnya, baik Imran Iskandar maupun Sihar Sihite selaku Manager Umum, saat dikonfirmasi wartawan justru membantahnya. Imran bilang tak merasa pernah mengucapkan kalimat itu. Kalau pun ada, katanya, mungkin ada yang memanas-manasi situasi. Sihite pun juga demikian. Dia yang hadir dalam pertemuan itu juga mengatakan tak ada GM Pelindo Dumai itu berucap menghina LSM dan wartawan. Sekarang, nasi telah jadi bubur. Bagaimanapun Imran dan anak buahnya Sihite berupaya membantahnya, rekaman pembicaraan itu sudah tersimpan di ponsel para aktivis LSM dan wartawan. Dalam kemarahan aktivis LSm dan wartawan, ternyata masih ada tolak angsurnya. Imran hanya disuruh untuk MINTA MAAF secara terbuka di media terbitan Riau. Tapi bila ini tidak dilakukan Imran dan tetap bertahan tidak pernah berucap hal itu, sejumlah LSM dan organisasi wartawan akan bersiap membuat pengaduan. Kalau sudah begini, muaranya cuma satu, bertemu di Pengadilan Negeri. Yakinlah, jika ini yang terjadi, ucapan Imran yang hanya sekali di hadapan perwakilan karyawan Primkokarmar itu akan dimuat berkali-kali oleh media terbitan Riau. Minimal setiap sidang berlangsung. Mungkin inilah yang disebut hukuman publik. (almudazir)

17 Desember 2008

Demokrasi dan Fenomena Pemimpin Muda

Pada dasarnya, munculnya calon-calon pemimpin muda bukanlah hal yang sulit, apabila demokrasi prosedural bisa kita tanggalkan. Karena demokrasi kita sekarang ini sedang tumbuh dan berkembang (transisi) untuk menuju suatu tatanan demokrasi yang lebih terkonsolidasi (sistem politik yang stabil). Dalam kenyataannya sekarang dalam sistem politik kita kecil kemungkinan bisa melahirkan peluang munculnya pemimpin muda. Beberapa indikasi diantaranya adalah masih subur dan berkembangnya oligarki partai, tidak meggunakan mekanisme konvensi dalam rekruitmen calon presiden dan masih dominannya pendiri dan elit pengurus tertentu dalam mengendalikan dan mengambil suatu kebijakan dalam ruang lingkup partai. Makna pemimpin disini juga harus dipahami bukan saja dalam pengertian pemimpin politik, bahkan makna pemimpin dalam ranah politik juga bukan sebatas presiden ataupun wakil presiden. Namun lebih jauh, menurut hemat saya pemimpin itu bisa dimaknai dalam berbagai bidang kehidupan, apakah itu bidang ekonomi, akademisi, sosial budaya, atau lingkungan. Tren dunia menunjukkan peran kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi sangat dominan, misalnya dalam bidang industri yang berbasis IT telah berdampak pada siklus suatu produk menjadi makin cepat. Oleh karenanya dalam tren dan kecenderungan global seperti sekarang ini hanya produk-produk yang berhasil menggabungkan unsur kecepatan (speed), inovasi dan kreatifitaslah yang akan bisa menguasai pasar dan diterima oleh konsumen. Dalam bidang ekonomi dan bisnis maupun tren pemimpin politik dunia orang mengetahui bahwa diberbagai belahan dunia baik negara maju maupun negara berkembang menunjukkan tren lahirnya pemimpin muda sudah tidak terelakkan lagi. Fenomena dan kecenderungan lahirnya pemimpin muda dibeberapa negara misalnya Kevin Ruud (australia), JP. Balkenende (Belanda), Jhon Key (PM Selandia Baru), Medvedew (Rusia),Barack Obama(AS) dan Abhisit Vejjajiva, yang baru terpilih menjadi PM Thailand harus kita pahami sebagai “tamsil” atau tanda-tanda alam yang mengisyaratkan bahwa pelaku perubahan yang sesuai dengan tuntutan zaman adalah pemimpin muda, atau paling tidak formulasi dan kombinasi antara mereka yang mempunyai basis pengalaman dengan ditopang oleh kebutuhan akan perlunya kecepatan, kreatifitas dan keberanian inovasi untuk keluar dari mainstream yang ada. Secara historis negeri ini pernah dikomandani dwi tunggal Soekarno-Hatta yang berusia bukan kepala enam. Jadi, munculnya tokoh-tokoh muda untuk menjadi pemimpin nasional hanya ditentukan oleh peluang yang ada. Hanya saja disadari atau tidak figuritas masih menjadi senjata ampuh bagi partai-partai politik di Indonesia. Bahkan, penciptaan sistem kaderisasi secara terpadu di masing-masing parpol masih merupakan pekerjaan besar. Memang amat ironis jika pemberian ruang terhadap munculnya tokoh-tokoh muda dalam partai politik di negeri ini amatlah minim. Di (sebagian) parpol adanya tokoh-tokoh muda yang bersikap kritis dan terlihat membawa pemikiran-pemikiran baru sering kali mengalami penyumbatan dari kalangan tua. Tanpa mendikotomikan kepemimpinan kaum muda dan kaum tua peluang kaum muda tampil juga amat ditentukan oleh kecerdasan bangsa ini dalam membaca tren utama dan kecenderungan global diberbagai belahan dunia yang hingga kini kian menjadi keniscayaan zaman. Pada Pemilu 2009, pemilih dari kalangan muda cukup besar, fakta menunjukkan bahwa berdasarkan proyeksi dari BPS tahun 2005, jumlah penduduk muda (usia dibawah 40 tahun) sekitar 95,7 juta jiwa pada tahun 2009. Jumlah tersebut setara 61,5 % dari 189 juta penduduk usia pemilih. Diantara penduduk usia muda sejumlah 21.341.100 (22,3%) adalah mereka yang pada tahun depan berusia 22-29 tahun. Sedangkan potensi kelompok pemilih pemula usia 17-22 tahun mencakup kurang lebih sekitar 36 juta atau 19 % dari jumlah penduduk kategori pemilih. Potensi suara pemilih muda inilah yang patut diperhitungkan oleh partai politik. Hasil jajak pendapat kompas (Kompas 24/11/2008) menunjukkan bahwa antusiasme kelompok responden usia dibawah 40 tahun lebih tinggi ketimbang kelompok usia yang lebih mapan. Sebanyak 67,08 persen responden dibawah 40 tahun menyatakan akan memberikan suaranya pada salah satu partai peserta pemilu. Hanya 7,66 persen yang menyatakan sebaliknya. Antusiasme pemilih muda ini mestinya bisa menjadi bahan bagi partai politik untuk menyusun strategi guna membidik kelompok usia muda yang merupakan mayoritas dari jumlah pemilih. Demikian juga responden pada kelompok pemilih pemula lebih terbuka pada kemunculan partai politik baru. Sebanyak 46,23 persen responden yang berada dalam rentang usia 17-22 tahun menyatakan berminat untuk memilih partai baru. Hemat saya ini merupakan indikasi awal munculnya peluang yang cukup menggembirakan bagi kemunculan calon pemimpin muda di Indonesia. Menempatkan konteks Pemilu 2009 dalam tatanan dunia yang berubah adalah sisi krusial yang akan menentukan masa depan Indonesia dalam percaturan internasional. Problem mendasarnya adalah bagaimana mencari pemimpin yang bisa menempatkan posisi Indonesia secara strategis, diantara kekuatan idiologis dan ekonomi baru dunia. Menguatnya posisi negara Afrika dalam percaturan ekonomi, konsolidasi sosialisme baru di Amerika Latin, kembalinya rezim pemusatan kekuatan Rusia, menguatnya idiologi kedaulatan negara seperti Iran, dominasi Uni Eropa atas mata uang dunia, dan tumbuh kembangnya raksasa baru ekonomi China dan India, merupakan tantangan yang mestinya menginspirasi kepada kepemimpinan Indonesia 2009. Nah, kapan kaum muda memimpin? Hanya kaum muda sendirilah yang berhak menjawabnya. Kaum muda sarat dengan kemungkinan untuk lebih berprestasi, kreatif, progresif, dan inovatif di dalam menyelesaikan permasalahan aktual Indonesia untuk berhadapan dengan karakter konservatif, regresif, bahkan antidemokrasi para pemimpin tua. Sebagai tips untuk Parpol dalam mengusung calon pemimpin bangsa ini, hendaknya janganlah terjebak hanya pada aspek popularitas (entertainment politic), namun yang lebih penting adalah mempelajari rekam jejak (track record) calon yang akan diusungnya. Selain issue kewilayahan, aspek representasi generasi juga penting diperhatikan, disamping itu untuk mendapatkan figur calon pemimpin nasional yang ideal sudah seharusnya aspek figur, mesin politik, akseptibilitas dan juga barangkali menjadi tuntutan dalam menjawab tantangan kedepan adalah berwawasan kebangsaan dan pengalaman dalam kancah internasional. Wallahu’aklambisawwab. (Oleh : IRMAN GUSMAN SE MBA)

MLM UFO Kembali ‘Makan’ Korban

MASIH segar dalam ingatan masyarakat Riau ketika beredar kabar istri Wakil Gubernur Riau saat itu, Wan Abu Bakar dituduh melakukan penggelapan dana downline UFO Pekanbaru yang jumlahnya hampir mencapai Rp 3 miliar. Berita ini sempat menghebohkan Riau. Apalagi saat itu Wan Abu Bakar sedang menjabat sebagai Wakil Gubernur. Sementara istrinya Wan Elyzam dilaporkan Ermita Kamaruddin, Jusnawanti, dan Andi Herlina, ke Poltabes Pekanbaru dengan tuduhan menipu dalam bisnis investasi bagi hasil tersebut. Satu setengah tahun sudah peristiwa itu berlalu. Kini, jaringan Multi Level Marketing (MLM) UFO kembali berulah. Entah karena masyarakat sudah lupa ribut-ribut di bisnis jaringan yang enggan disebut MLM ini atau karena memang ingin mencari usaha sampingan untuk menambah kebutuhan hidup, kasus serupa terulang kembali. Ribuan warga Perawang Kabupaten Siak diduga telah tertipu seorang agen bisnis jaringan satu-satunya di Indonesia yang mendapat sertifikat Sistem Syariah dari Dewan Syariah nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI). Miliar uang dari ribuan downline yang telah disetor dengan harapan kecipratan pembagian hasil, ternyata tak jelas ujung pangkalnya. Lagi-lagi kasus ini bermuara ke kepolisian. Memang, sejak lima tahun lalu, bisnis MLM membooming di Indonesia. Pola menggaet peserta yang door to door serta dengan rayuan yang luar biasa, membuat masyarakat tidak saja dari kalangan awam, sampai istri pejabat pun tertarik untuk bergabung. Apalagi diembel-embeli dengan pembelian berbagai produk yang dibekali dengan lisensi tentang kehebatan produk tersebut. Namun tetap saja uang pendaftaran yang dibayarkan tidak seimbang dengan produk yang bisa dibawa pulang. Tapi, itulah kemiskinan. Itulah nafsu. Sehingga kadang kala mengabaikan pikiran sehat. Sebab, dalam cara kerjanya, agen bsinis MLM selalu saja memakai teknik jitu untuk menggaet ‘korban’. Kepada downline diajarkan teknik-teknik rayuan yang jitu untuk mengikat orang untuk mau bergabung. Bikin daftar nama, tawarkan kehebatan produk atau peluang investasi serta keuntungan yang akan diperoleh dalamw aktu singkat lalu diajak ke kantor atau pertemuan untuk mendengarkan rayuan dari para topline. Seperti UFO, dalam promosinya dijelaskan bahwa selain sertifikat MUI sejak 2005, namun dikatakan bahwa UFO adalah sebuah perusahaan nasional asli Indonesia yang bergerak di bidang kesehatan (herbal) dengan produk-produk yang khasiatnya telah dibuktikan oleh ribuan orang di seluruh Indonesia. Berdiri sejak th 2000 dg misi-visi yang sangat mulia. Sistem yang di gunakan adalah sistem bagi hasil (koperasi modern). Mirip MLM tapi sistem yang dijalankan bukanlah MLM atau Money Game. Begitulah caranya anggota kelompok ini membangun jaringan. Tak peduli apakah calon downlinenya itu berduit atau tidak, tapi utama sekali dirayu, mendaftar dulu. Bahkan bisa hanya dengan membayar uang pendaftaran saja, beli produk bisa belakangan. Nah, sekian persen dari uang pendaftaran itu sudah masuk ke rekening agen yang mengajaknya. Nah, terhadap kasus seperti ini, secara moral Dewan Syariah Nasional MUI juga harus ikut bertanggungjawab. Karena, sertifikat yang dikeluarkan Dewan Syariah itu ikut dijadikan referensi bagi agen UFO untuk meyakinkan calon downlinennya. Lalu, siapa yang mengawasi jalannya bisnis ini? Sampai sekarang, juga tak jelas. Karena, banyak bisnis MLM yang ternyata tidak ikut tergabung dalam Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI).(almudazir)

Membaca Skenario Pergantian Komisaris RAL

‘PERANG’ terbuka kelompok Wan Abubakar dengan Gubernur Rusli Zainal, tampaknya bakal terulang lagi. Gubernur Rusli Zainal telah membuka front itu melalui rencana membongkar ulang jajaran komisaris PT Riau Airlines. Padahal, jajaran komisaris sekarang belum genap sebulan umurnya. Sama halnya dengan umur kepemimpinan Rusli Zainal-Mambang Mit. Sebulan, memang waktu yang masih singkat untuk mengetahui kinerja seorang komisaris. Tapi bila Gubenur Rusli beralasan pembentukan komisaris semasa Gubernur Wan Abubakar itu cacat hukum, maka harus punya dasar yang jelas. Sehingga pengantian ini tidak memunculkan imej sebagai ajang sakit hati atau balas dendam. Apalagi bila ada bumbu-bumbunya yakni soal Wakil Gubernur Mambang Mit, saat menjabat komisaris RAL, pernah diusir Wan Abubakar. Meski saham PT RAL didominasi Pemprov Riau, bukan berarti Gubernur Rusli bisa dengan mudah mempeta comply agar pergantian komisaris bisa berjalan mulus. RAL bergerak di bisnis jasa yang sangat rentan terhadap ancaman ditinggalkan pelanggan. Mungkin bagi RAL hal itu tidak jadi masalah, karena saham RAL masih berasal dari anggaran APBD masing-masing daerah. Artinya, beban yang ditanggung tidak seberat perusahaan milik pribadi. Kalau RAL kekurangan anggaran, tinggal alokasikan di APBD. Bisa juga dengan minta penambahan saham dari daerah-daerah, namun asal uangnya tetap dari APBD juga. Mungkinkah Gubernur Rusli punya skenario lain sehingga begitu kuat keinginanya untuk mereformasi komisaris RAL tersebut? Wacana yang berkembang, Gubernur Rusli ingin mendudukkan ‘orang-orang’ atau timnya di jajaran komisaris tersebut. Karena, jajaran komisaris saat ini dianggap kelompoknya mantan Gubernur Wan Abubakar. Juga berkembang isu, Wan Syamsir Yus, yang selama ini dikenal dekat dengan Gubenur Rusli, diplot untuk menggantikan posisi Herliyan Saleh sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Riau. Tapi agar skenario itu tidak terlalu nyata, maka nama Wan Syamsir diwacanakan untuk mengemban posisi Komisaris Utama PT RAL. Sementara nama Herliyan Saleh juga ikut diapungkan dalam calon komisaris RAL bersama Abdul Hafis, mantan Kepala Distamben Riau. Masyarakat menduga, Wan Syamsir Yus bukanlah ‘disiapkan’ untuk komisaris RAL, tapi untuk jabatan Sekdaprov menggantikan Herliyan Saleh yang kini jadi pelaksana tugas (Plt). Banyak yang menduga, yang akan masuk ke jajaran komisaris nantinya bila RUPS-LB terlaksana justru Abdul Hafis, sosok yang selama ini juga dekat dengan Gubernur Rusli. Lalu, bila itu benar, kemana Herlyan Saleh? Padahal, Herliyan selama ini dikenal sebagai sosok birokrat sejati. Memang dia tidak terkesan pro Ruysli, tapi Herliyan juga tidak bisa dikatakan orangnya Wan Abubakar. Herliyan hanyalah sebagai birokrat yang bekerja professional sesuai jabatan yang diamanahkan padanya. Karena itu wajar, banyak masyarakat yang menilai, bila Herliyan justru harus menerima nasib dibuang dari kabinet Rusli-Mambang, maka Riau akan rugi besar. Apalagi Herliyan cukup sukses mengantarkan pelantikan Rusli Zainal-Mambang Mit. Pesta pelantikan itu, nyaris tanpa cacat. Tapi, apa benar, begitu besar konflik kepentingan di tataran petinggi Riau sehingga harus mengabaikan kualitas? Atau sudah begitu sangat parahkah ‘dendam’ Rusli-Wan Abubakar? Ketika tak berapa lama setelah dilantik sebagai Gubernur Riau, mengggantikan Rusli Zainal yang maju dalam Pilgubri, Wan Abubakar melakukan mutasi besar-besaran. Lebih separo, pejabat yang sebelumnya dilantik Rusli Zainal, terpaksa harus ‘parkir’. Sama juga halnya ketika Rusli melakukan pelantikan pejabat sebelumnya, ada kesan pejabat-pejabat yang dianggap dekat dengan Wan, harus rela tak dapat tempat. Nah, sampai kapan kondisi ini berakhir? Karena, hal ini bisa berakibat pejabat di Riau sulit menentukan sikap. Kembali soal komisaris RAL, Kuasa Hukum PT RAL Kapitra Ampera secara gamblang telah menjelaskan, sebagai pemilik 53 persen saham di RAL, Pemprov Riau melalui gubernurnya berkewenangan mengusulkan RUPS-LB. Jadi, apa yang dilakukan Wan Abubakar selaku gubernur sebelumnya, juga tidak salah. Sama dengan yang akan dilakukan Gubernur Rusli Zainal. Tapi, sebaiknya dibiarkan dulu komisaris ini bekerja, berikan target waktu, kalau memang tidak mencapai target, saat itulah dia bersiap untuk hengkang. Cara ini mungkin lebih elegan. Diharapkan, Gubernur Rusli Zainal tidak punya pretensi lain, selain bertujuan memajukan bisnis PT RAL kedepan, dalam rencana merestrukturisasi jajaran komisaris ini. Mudah-mudahan.(almudazir)

15 Desember 2008

Mewaspadai Calo CPNS

GONG penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah ditabuh Pemerintah Provinsi Riau dan seluruh Kabupaten/Kota. Para karyawan Kantor Pos dan Giro di semua tingkatan pemerintahan itupun telah pula sibuk menerima berkas lamaran untuk kemudian didistribusikan ke daerah masing-masing. Kantor Pos dan Giro dilibatkan pemeirntah dengan harapan menghindari calo yang saban tahun selalu gentayangan mencari mangsa, tentunya dengan seribu janji dan usaha meyakinkan agar calon mau berurusan dengan mereka. Calo ini, bisa saja orang-orang internal di Badan Administrasi dan Kepegawaian Daerah (BAKD). Tapi tak tertutup juga calo ini berasal dari kalangan orang-orang dekat Kepala BAKD atau orang dekat dari pejabat di pemerintahan itu sendiri. Bahkan, mungkin saja ada calo gadungan. Artinya, orang-orang yang memanfaatkan momen itu untuk melobi para pelamar CPNS, dengan mengaku sok kenal dengan pejabat A atau pejabat B dan dengan stel yakin bahkan berani memastikan pelamar CPNS tadi bisa diterima sesuai keinginannya. Ini WARNING bagi generasi yang saat ini ikut melamar CPNS. Karena yang namanya calon, tujuannya hanya satu, mendapatkan uang. Malah sasarannya pun makin diperdekat. Bila sebelumnya mangsa calo ini para pelamar yang sedang memasukkan lamaran, kini modusnya lebih bersahabat. Dia memantau siapa saja dari keluarga temannya, atau teman dari temannya yang ikut melamar CPNS. Nah, ketika itu sudah didapat, mulailah dia beraksi dengan dalih Menolong Teman. Ini tetap harus diwaspadai. Karena saat ini sangat sulit mencari orang yang menolong tanpa pamrih. Bahkan ada yang menawarkan, soal uang bicara belakangan setelah lulus. Tapi, entah benar diurusnya atau tidak, jangan tanya. Peluang untuk calo bermain di penerimaan setiap CPNS memang besar. Kondisi itu lebih disebabkan selalu membludaknya pelamar dari formasi yang disiapkan. Jumlahnya hampir sepuluh kali lipat. Dengan persaingan yang ketat itu, menjadi wajar si pelamar mencari berbagai cara agar bisa lulus, walau harus membayar sejumlah uang sekalipun. Orangtua pelamar inipun seakan sudah siap untuk itu. Karena, PNS masih dianggap sebagai kerja yang jelas-jelas memberikan jaminan hidup masa tua. Jadi, jangan berteriak ketika masih ada yang tertipu. Karebna. Calo sudah ada sejak PNS jadi idola. Di perusahaan besar pun calo tetap saja ada. Jadi, di mana ada gula, di situ ada semut yang siap menggerogoti kocek anda. Waspadalah. (almudazir)

Membangun Citra Kepolisian

KAPOLRI Jendral Polisi Bambang Hendarso Danuri merespon positif gebrakan Kapolda Riau Brigjen Pol Hadiatmoko dalam mengungkap kasus perjudian togel antara Negara dengan tersangka Chandra Wijaya alias acin. Terbukti, tak lama setelah berkas Acin diserahkan Kapolda Hadiatmoko ke Kejaksaan Tinggi, Mabes Polri tampaknya mulai mengarahkan pengusutan ke tubuh Polri sendiri. Penjelasan yang disampaikan Inspektur Pengawas Umum Mabes Polri, Senin (1/12), terkait dugaan keterlibatan tiga mantan Kapolda Riau dan tiga mantan Wakapolda Riau, mendapat acungan jempol dari masyarakat. Gebrakan ini sudah lama ditunggu. Ketika Kapolri sudah dengan tegas tak lagi melindungi anggotanya yang ‘nakal’, apalagi setingkat kapolda, ini sebuah terobosan besar yang akan mengangkat citra kepolisian. Tapi, apakah terobosan kapolri itu juga akan menjadi kabar petakut pada para jajaran Polres hingga Polsek? Karena, dua lembaga kepolisian inilah yang lebih banyak menjadi ujung tombak di lapangan dan berhadapan langsung dengan masyarakat. Artinya, citra kepolisian akan lebih banyak disandang oleh para anggota yang bertugas di Polres dan Polsek. Membangun citra kepolisian selaku lembaga penegak hukum dan pengayom masyarakat, memang sulit. Mantan Kapolri Jendral Sutanto pernah mengakui bahwa mengakui penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Sutanto bicara hal itu berkaitan dengan masih minimnya tingkat kesejahteraan polisi. "Mestinya gaji polisi itu minimal Rp 7 juta sebulan, agar mereka dapat bekerja dengan baik, namun itu cobaan buat kami," katanya Pada sisi lain Sutanto juga mengakui, tidak mudah mengubah perilaku polisi agar sesuai harapan masyarakat. "Mengubah perilaku polisi memang tidak mudah dan butuh waktu yang lama. Sebenarnya tugas polisi memberi perlindungan bagi masyarakat, namun masih banyak masyarakat yang kecewa," ujarnya (tempointeraktif.com). Kita tidak bicara kesejahteraan anggota polisi. Tapi, ketika jajaran Mabes Polri telah mulai terbuka memaparkan kasus meski di tubuh sendiri, kondisi yang sama belum sepenuhnya terlaksana di tingkat Polda, Polres dan Polsek. Seringkali wartawan kesulitan mengakses informasi dari jajaran pimpinan kepolisian tersebut, terkait temuan, penyelidikan dan penangkapan yang dilakukan. Padahal, tujuan para jurnalis ini hanya satu, mengimformasikan ke publik atas keberhasilan polisi. Dan ini jelas-jelas akan membangun citra kepolisian. Justru ketika Kapolda, Kapolres, kapolsek atau setingkat kasat dan kanitnya enggan mengomentari kasus yang tengah ditangani, maka akan memunculkan pikiran macam-macam dari masyarakat. Karena, mungkin dengan alasan tuntutan deadline, maka sebagai bahan untuk memperkuat beritanya, sang wartawan tadi bisa saja menuliskan di ujung beritanya, Kapolres atau Kapolsek atau kasat, enggan berkomentar ketika dikonfirmasi hal tersebut. Satu kalimat yang ditulis wartawan itu dan walau di bagian akhir tulisannya, bisa berpengaruh besar terhadap citra kepolisian (termasuk bagi lembaga penegak hukum lainnya). Karena, measyarakat pembaca dengan bebasnya menduga-duga, da apa gerangan? Padahal, sesuai kode etik, apa yang dilakukan wartawan tadi sudah benar karena dia telah memberi kesempatan pada Kapolres, kapolsek atau kasat tadi untuk memberi penjelasan. Kembali pada dugaan keterlibatan 3 Mantan Kapolda Riau dan 3 Mantan Wakapolda Riau tadi, pihak Mabes Polri telah merilisnya ke publik. Artinya, Mabes Polri juga diharapkan selalu merilis setiap perkembangan pemeriksaannya hingga keluarnya keputusan akhir, bersalah atau tidaknya 6 mantan perwira tinggi ke Mapolda Riau ini. Dengan begitu, publik akan menilai bahwa Kapolri memang tidak pandang bulu dalam penegakan hukum guna membangun citra kepolisian di hadapan publik. Nah, niat yang sama diharapkan juga dibangun jajaran Polda hingga Polsek.(almudazir)

AIDS Tak Pandang Usia

ACQUIRED Immune Deficiency Syndrome (AIDS) terus mengancam kehidupan manusia. Penyakit mematikan yang diduga berasal dari Afrika ini telah menjada wabah dunia. Walau tiap 1 Desember, ribuan, jutaan mungkin miliaran orang turun ke jalan menyerukan Anti AIDS guna memperingati Hari AIDS Sedunia, tapi penyakit yang berasal dari virus Human Immunodeficiency Virus (HIV) tak juga terhentikan laju penyebarannya. Virus yang menurunkan kekebalan pada tubuh manusia ini terus tumbuh, tumbuh dan menyebar tanpa pandang usia. Sudah ribuan anak tak berdosa (baca, baru lahir) terserang penyakit yang menular melalui air susu ibunya. Depkes memperkirakan, pada tahun 2006 ada 169.000-216.000 orang berusia 15-49 tahun di Indonesia yang terinfeksi HIV. Namun pada akhir Maret 2008, hanya ada 17.998 kasus dilaporkan oleh Depkes, dengan 11.868 sudah sampai ke stadium AIDS dan 2.486 sudah meninggal dunia. Pada Januari 2006, UNAIDS bekerjasama dengan WHO memperkirakan bahwa AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian, penyakit ini merupakan salah satu wabah paling mematikan dalam sejarah. AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga 3,3 juta jiwa pada tahun 2005 saja, dan lebih dari 570.000 jiwa di antaranya adalah anak-anak. Kini AIDS telah menjadi wabah penyakit. AIDS diperkirakan telah menginfeksi 38,6 juta orang di seluruh dunia (wikipedia.com). Rasanya, hampir seluruh sektor instansi pemerintahan, swasta, LSM, ormas dan mahasiswa ikut menyerukan bahaya AIDS. Ustad di masjid, TNI dan Polri juga ikut mensosialisasikannya. Tapi faktanya, oknum-oknum dari kelompok yang ikut berteriak itu ternyata juga terlibat. Nah, dari manalagi harus memulai untuk memberi kabar petakut pada masyarakat akan penularan penyakit ini? Sentuhan kekuasaan telah dilakukan pemerintah bersama TNI/Polri dengan menggelar berbagai razia. Sentuhan moral dan agama telah disuarakan oleh para ustad dan ulama. Himbauan dan peringatan juga telah dikibarkan oleh para LSM, Ormas dan mahasiswa dengan turun ke jalan membawa berbagai spanduk dan selebaran. Namun tetap saja tak mangkus. AIDS/HIV terus saja menyebar memasuki lorong-lorong perumahan rakyat tanpa memandang kaya dan miskin, pangkat atau golongan. Apalagi hingar bingar bar dan music room serta hiruk pikuk lokalisasi makin tak terkontrol. Penyebaran virus HIV semakin parah oleh keterikatan akan aturan HAM. Ketika seseorang diketahui terjangkit, namanya justru dirahasiakan dengan alasan takut melanggar HAM. Tapi yang sangat mengecewakan, pengawasan terhadap penderita itu tidak dilakukan. Akibatnya, mereka bebas pergi kemana saja, serta berpotensi menularkan pada siapa saja. Motifnya bisa saja dendam dan ingin punya teman sesama penderita atau juga mungkin ada faktor-faktor lain yang membuat dia tak bisa membunuh hasratnya untuk berhubungan dengan wanita atau pria lain. Ini bahaya. Artinya, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) atau dinas instansi terkait sudah saatnya membuat terobosan besar atau mungkin rekruitmen besar-besaran untuk memantau ruang gerak penderita AIDS yang hidup di tengah masyarakat. Atau mungkin ada cara lain yang lebih pungkas, agar seseorang yang diketahui terjangkit langsung diisolasi. Bila penderita tetap dirahasiakan namun tidak dilakukan pengawalan, justru penyakit ini akan terus jadi ancaman. Percayalah.(almudazir)

14 Desember 2008

Mari Menanam Pohon

PT Arara Abadi yang tergabung dalam Sinar Mas Grup mengisi kegiatan Hari Menanam di sebuah sekolah di Kabupaten Siak tempat perusahaan ini bermarkas. (foto Humas Arara Abadi) TIAP tanggal 21 November, diperingat sebagai Hari Pohon. Pada hari ini serta beberapa hari setelahnya, berbagai instansi pemerintahan, swasta dan organisasi kemasyarakat ramai-ramai menggelar acara penanaman pohon. Ribuan bahwa jutaan pohon ditanam tiap tahunnya. Tapi kemana pohon yang ditanam itu, kok beberapa bulans etelah kegiatan penanaman tak kelihatan lagi? Artinya, masih banyak instansi yang masih memaknai Hari Pohon ini sebagai seremonial belaka. Setelah kegiatan penanaman ribuan atau jutaan pohon selesai, tak lagi ada perawatan. Apakah pohon itu akan tumbuh atau patah-patah diterjang binatang tak dipikirkan lagi. Yang penting, kegiatan seremonial penanaman itu telah terekspose ke publik, bahwa instansi tersebut telah peduli dengan lingkungan hidup. Fenomena ini tak dapat dibantah. Hari ini bisa kita buktikan, hasil penanaman pohon di Hari Pohon tahun lalu, apakah masih kelihatan? Tumbuhnya bagaimana? Ditanam seribu, tumbuh seratus saja sudah sangat lumayan. Itupun masih belum kelihatan. Kondisi itu disebabkan tidak adanya instansi yang merasa bertanggungjawab menjaga pohon tersebut. Walau ada dinas kehutanan, dinas lingkungan hidup, dinas perkebunan atau dinas-dinas dan organisasi lingkungan lainnya, namun terhadap[ pohon yang ditanam secara missal itu seakan tak ada yang peduli. Padahal, bila sejutan pohon itu dijaga dengan baik, dirawat, akan dapat mengurangi kegelisahan dunia usaha akan ancaman kekurangan pasokan kayu. Bayangkan dan dihitung, sudah berapa tahun Hari Pohon ini diperingati. Berapa umur satu pohon untuk bisa ditebang lagi. Sama halnya dengan kasus yang dialami PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Bila penanaman pohon di setiap areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dimiliki sudah berlangsung sejak awal penebangan dilakukan, maka akan ada kontiniutas bahan baku. Ketika lahan yang di ujung sudah habis ditebangi, bisa kembali lagi ke lahan yang sudah ditanami sebelumnya, karena sudah masuk kategori layak tebang. Dengan begitu, RAPP tak akan memekik kekurangan bahan baku dan tak perlu pula mengemis atau berdalih minta penambahan izin HTI. Karena itu, semua pihak jangan hanya puas dengan kegiatan seremonialnya saja. Ketika Presiden SBY mencanangkan untuk menanam pohon, semua sibuk bikin kegiatan. Tapi hasilnya? Dinas Kehutanan sendiri sebagai instansi khusus mengurus hutan, ternyata juga tak punya komitmen yang jelas terhadap pelestarian hutan. Buktinya, di beberapa kasus pembalakan liar, justru oknum di dinas ini yang banyak terlibat. Walluhu’alam. (almudazir)

‘Ke-takpeduli-an’ Hiswana Migas

KETUA Himpunan Pengusaha Swasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) M Nur Adib menuding pemerintah tidak memikirkan grassroot (detik.com, 30/11/08). Tudingan ini setidaknya menggambarkan secara nyata ‘keangkuhan’, ‘kesombongan’, atau ‘ke-takpeduli-an’ atau mungkin juga bisa dikatakan ‘keserakahan’ para pengusaha minyak ini. Karena, tepatkah pengusaha minyak ini masuk dalam kategori grassroot yaitu masyarakat kelas bawah? Kebijakan pemerintah menurunkan harga Bahan Bakar Minyak, khususnya jenis Premium Rp 500 per liter dari sebelumnya Rp 6.000 perliter, berlaku mulai hari ini, Senin, 1 Desember 2008 pukul 00.00 WIB. Mungkin karena kebijakan duet SBY-JK ini cukup luar biasa dan menjadi sejarah baru di republik ini, membuat kalangan Hiswana Migas kebakaran jenggot. Karena, sejak orde baru lalu Hiswana Migas memang hanya ketiban untung terus, karena belum pernah pemerintah saat itu berani menurunkan harga minyak. Tapi kalau kenaikannya, hampir tiap tahun. Kebijakan pemerintahan SBY-JK ini memang pro rakyat, walau penurunan yang hanya Rp 500 per liter itu masih dianggap kecil. Hitung-hitungan para ekonom, masih ada peluang penurunan di bawah level itu. Tapi dengan penurunan kecil itu saja, kalangan Hiswana Migas justru sudah berani mengaku kelompoknya grassroot. Hiswana Migas jangan sok merendahkan diri. Rugi sedikit ribut, tapi ketika menikmati untung besar malah tenang-tenang saja. Bahkan sampai saat itu, belum begitu terlihat adanya kepedulian pengusaha minyak yang meraup untung miliyaran atau mugkin triliunan tiap hari, pada sektor kemiskinan dan bencana alam. Di Riau saja yang lebih dekat atau yang derita masyarakat Rumbai tiap tahun di landai banjir, pernahkan terdengar ada bantuan dari Hiswana Migas Riau? Sementara berapa untung yang mereka raup tiap hari dari masyarakat Riau? Kembali pada penurunan harga BBM tadi, Hiswana Migas mestinya juga punya sense of responsibility social. Kesan yang muncul dari pengakuan Nur Adib tersebut, hanya menonjolkan kepentingan kelompok mereka saja yang angkanya tak sampai satu persen dari jumlah penduduk yang berdiam dan beli minyak di Republik Indonesia ini. Ketika pemerintah (masih era SBY-JK), menaikkan harga premium dari Rp 4.500 ke Rp 6.000, Hiswana Migas hanya diam-diam saja. Karena, ada untung besar di sini. Dengan selisih harga Rp 1.500 per liter, sangat luar biasa untung yang dapat diperoleh. Saat detik-detik menjelang kenaikan harga itu, meski ramai masyarakat belim BBM, tapi nyaris tak ada SPBU yang kosong minyak. Artinya, ketika tepat pukul 00.00 WIB, di tanki timbun SPBU masih tersimpan BBM yang dibeli masih dengan harga jual seharusnya Rp 4.500. Tapi, lewat satu menit saja sudah dijual Rp 6.000 per liter. Nah, dari selisih harga Rp 1.500 per liter itu berapa miliar atau berapa triliun keuntungan yang dinikmati para pemilik SPBU di Indonesia yang nota bene adalah anggota Hiswana Migas? Sekarang, selisih harganya Cuma Rp 500 per liter. Coba hitung! Idelanya sebuah organisasi memang mengutamakan kepentingan kelompoknya, tapi mbok ya pikirkan juga kepentingan masyarakat yang lebih luas, yang nyata-nyata terpaksa membeli minyak untuk kebutuhan sehari-hari, berapa pun harga yang ditetapkan pemerintah. Karena, memang tidak ada pilihan lain. Kalau hal kecil ini saja Hiswana Migas sudah mengeluh, padahal kebijakan pemerintah itu jelas-jelas untuk hajat hidup orang banyak, maka mungkin lebih baik pemerintah melalui PT Pertamina lebih pro aktif dengan memperbanyak pembangunan SPBU Pertamina. Dengan begitu, bila harga minyak dunia turun lagi, pemerintah juga tidak terlalu rumit memikirkan ‘teriakan’ dan ‘keluhan’ Hiswana Migas yang memang tidak bisa diaudit pemerintah. Tapi dengan Pertamina, pemerintah mungkin bisa lebih pro rakyat dan keuntungan Pertamina juga kembali pada Negara, tidak hanya masuk kocek pengusaha yang tergabung dalam Hiswana Migas. Cara ini mungkin lebih aman dan mengurangi konflik kepentingan. (almudazir)

Dalih RAPP

PLT Bupati Pelalawan menemui karyawan PT RAPP yang terancam PHK dalam aksi demo beberapa waktu lalu (foto: nolpitos/Pelalawan) INNALILLAHI wainnailaihirojiun. Kalimat duka itu tampaknya pantas ditujukan kepada dua ribu pekerja pabrik kertas dan pulp PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) yang akan terpaksa beralih profesi jadi pengangguran. Sejak pekan lalu mereka diancam hengkang dari industri besar yang selama ini tampak sehat dan berkibar-kibar itu. Jika setiap pekerja memiliki seorang isteri dan satu anak, berarti ada enam ribu mulut yang kini tak bisa lagi diisi kebutuhannya dari pabrik itu. Dampaknya tentu saja merembet ke pedagang serta penjual jasa lainnya yang selama ini mengandalkan pendapatan dari penghasilan para pekerja itu. Ironis, memang. Sebagai perusahaan yang begitu kuat dan maha raksasa, RAPP ternyata dalam sekejap saja bisa kelimpungan, sehingga terpaksa harus memberhentikan ribuan karyawannya. Olengnya perusahaan milik taipan Soekanto Tanoto ini tentu saja menjadi bahan pembicaraan banyak pihak. Apalagi, seperti diungkapkan manajemen RAPP, mereka terpaksa memberhentikan pekerja bukan hanya karena lesunya ekonomi global pada saat ini. Tapi disebabkan mesin mereka yang berkapasitas maha besar kekurangan bahan baku untuk diolah menjadi bubur kertas. Secara logika sederhana, alasan pengaruh lesunya ekonomi global masih bisa diterima akal sehat. Namun, jika dikatakan perusahaan yang rakus kayu itu sampai kekurangan bahan baku, hal ini menimbulkan suatu pertanyaan yang menggelitik. Pasalnya, di tengah kelesuan ekonomi global saat ini, otomatis permintaan akan pulp dan kertas menjadi berkurang. Buktinya, ada yang mengatakan pulp dan kertas kita saat ini banyak yang menumpuk di gudang maupun di pelabuhan. Dengan asumsi seperti itu, rasanya terlalu naif jika RAPP menjadikan kekurangan bahan baku sebagai alasan untuk mem-PHK-kan ribuan karyawannya. Lebih terasa aneh lagi, karena hal ini juga dijadikan RAPP sebagai bargaining position untuk menekan pemerintah agar mengizinkan mereka memakai kayu alam sebagai bahan baku. Tak kalah serunya, RAPP juga meminta agar kayu mereka yang disita polisi karena diduga sebagai hasil illegal logging, bisa mereka manfaatkan lagi. Jika hal ini sampai terjadi, maka tudingan polisi bahwa perusahaan ini telah melakukan pencurian kayu, atau setidaknya memanfaatkan kayu hasil illegal logging, dengan sendirinya akan terpatahkan. Dengan kata lain, hal ini juga akan menyebabkan beberapa petinggi RAPP yang telah dinyatakan polisi sebagai tersangka, bisa dianulir kesalahannya. Siapa tahu pula, skenario ini sengaja dilakukan untuk menyelamatkan petinggi-petinggi RAPP lainnya – seperti Soekanto Tanoto – yang secara tanggung-renteng bisa pula terseret-seret dalam kasus ini. Maka, kita mengacungkan jempol kepada pihak kepolisian yang tampaknya tak bergeming dengan ancaman maupun tindakan RAPP yang telah memberhentikan dua ribu pekerja. Sebab, pengrusakan hutan itu tak hanya akan menyengsarakan anak cucu kita saja, tapi juga akan berdampak sangat besar bagi kelestarian bumi tercinta ini. Sudah selayaknya kita secara bahu-membahu menyelamatkan hutan kita yang sempat diporakporandakan pihak-pihak tertentu dengan alasan demi kepentingan pembangunan itu. Aparat pemerintah juga jangan sampai ragu-ragu bertindak jika mendapat ancaman perusahaan yang diduga menjadikan pekerja sebagai dalih untuk memuluskan upaya mereka merusak kelestarian lingkungan. Sebab, Yang Maha Kuasalah yang menentukan rezeki para pekerja yang dipecat itu. Bukan perusahaan tempatnya bekerja. (irwan E Siregar)

Warga Meranti Kembali Berjuang

SALUT, mungkin kata ini yang tepat buat para warga Selatpanjang dan sekitarnya. Kenapa tidak, semangat juang mereka untuk menjadikan daerah mereka Kabupaten Meranti seakan tak pernah kendor. Lihat saja, perjuangan pembentukan Kabupaten Meranti telah mereka kobarkan sejak 51 tahun lalu yakni 1957. Angin segar sempat berhembus saat Panitia Kerja (Panja) Komisi II DPR RI tentang pembentukan pemekaran kabupaten/kota, berjanji membawa usulan pembentukan Kabupaten Meranti pada paripurna, Rabu (29/10) lalu. Ternyata, upaya itu mentok. Entah dimana tersangkutnya, tapi yang jelas saat paripurna Kabupaten Meranti tak masuk usulan untuk dibahas. Malah DPR RI menjanjikan pada masa sidang berikutnya. Nah, angin segar itu pun berlalu. Kalau saat itu DPR RI beralasan rekomendasi Gubernur Wan Abu Bakar tidak belaku, maka kini harapan ditumpukan pada pasangan gubernur terpilih, Rusli Zainal-Mambang Mit, yang rencananya akan dilantik, Jumat, 21 November mendatang. Karena, kalau Gubernur Rusli yang menandatangani surat rekomendasi itu, maka lapanglah jalan Meranti menjadi kabupaten. Pasalnya, persyaratan lain semuanya sudah terpenuhi. Namun, apakah mungkin Gubernur Rusli Zainal mau menandatangani rekomendasi untuk pemekaran Kabupaten Meranti. Ini pertanyaan besar yang hanya bisa dijawab gubernur pilihan rakyat Riau pada Pilgubri 22 Oktober lalu itu. Sebab, lima tahun pertama kepemimpinan Rusli Zainal, tuntutan warga Meranti agar daerah mereka dimekarkan dari Kabupaten Bengkalis, nyaris tak ada kemajuan. Warga terus berjuang, gelar apel akbar, lobi sana lobi sini, tapi rekomendasi Gubernur Rusli Zainal saat itu tak turun juga. Wan Abu Bakar yang otomatis menggantikan posisi gubernur karena Rusli masuk hursa calon gubernur Riau 2008-2013, langsung tancap gas. Dalam waktu singkat, Gubernur Wan mengeluarkan rekomendasi untuk pembentukan Kabupaten Meranti. Sayangnya, rekomendasi Wan itu mentah di meja DPR RI. Wan dianggap tidak punya kewenangan mengeluarkan rekomendasi. Kini, satu-satunya harapan rakyat Meranti tertumpu pada Gubernur Rusli Zainal. Apel akbar yang direncanakan berlangsung 20 November mendatang, hanyalah pembuktian bahwa rakyat Meranti tak pernah patah semangat berjuang. Uang pribadi yang seharusnya untuk makan makan anak istri, dikorbankan untuk memperteguh perjuangan itu. Tinggal lagi kerelaan Gubernur Rusli untuk memberi rekomendasi. Mudah-mudahan di jabatan kedua ini, hati Gubernur Rusli mencair, sehingga janji Komisi II DPR RI untuk membahas pembentukan Kabupaten Meranti di masa sidang akhir tahun ini terpenuhi. Semoga. (almudazir)

Mengamankan Pelantikan

PESTA telah usai. Jalanan di Kota Pekanbaru yang sempat macet saat persiapan maupun pelantikan Gubernur Riau Periode 2008-2013, Jumat (21/11), kini telah normal. Masyarakat pun kembali beraktivitas sehari-hari, seperti tak terjadi sesuatu yang maha penting. Itulah Riau, itulah Pekanbaru, yang masyarakatnya boleh dikatakan tak pernah berbuat anarkis, meskipun yang mereka inginkan tak selalu bisa sama dengan yang terjadi. Nah, yang menjadi pertanyaan, mengapa menjelang dan saat pelantikan Rusli Zainal dan pasangannya Mambang Mit (RZ-MM) sebagai orang nomor satu di Riau itu, penjagaan keamanan berkesan sangat berlebihan. Bayangkan saja, seperti dikabarkan, kepolisian sampai mengerahkan ribuan pasukan. Belum lagi jika ditambah dengan pasukan yang diturunkan satuan keamanan lainnya. Wajar saja, jika dua anggota DPRD Riau sampai mencak-mencak dan membantingkan kartu undangannya di depan aparat keamanan, karena mereka tak diperkenankan masuk ke tempat acara pelantikan akibat datang terlambat. Padahal, acara tersebut dilaksanakan di kantor tempat mereka bertugas sehari-hari. Keterlaluan… memang. Padahal, kalau polisi dan aparat keamanan lainnya membolak-balik laporan intelijen yang mereka buat sendiri, sejak masa menentang Soeharto hingga ke era reformasi ini, boleh dikatakan tak pernah ada aksi massa maupun mahasiswa di Riau yang menjurus ke tindakan anarkis. Seperti ‘anak mami’ aksi yang dilakukan massa maupun mahasiswa biasanya berakhir dengan happy ending. Sampai ada yang menyelutuk, seharusnya polisi atau intelijen yang memberikan ayam betina atau pakaian dalam wanita kepada aktifis massa maupun mahasiswa di Riau. Sebab, dari segi pendekatan keamanan, situasi yang aman-aman saja atau adem ayem, justru sangat membahayakan bagi aparat keamanan. Setidaknya hal itu memperlihatkan atau membuktikan bahwa aksi itu murni sebuah aspirasi dan belum terlihat ada yang menunggangi. Itulah kehebatan aktifis massa dan mahasiswa di Riau, yang tak mampu ditunggangi, sehingga aktivitas mereka jadi nyaris tak kelihatan sama sekali. Lalu, kembali ke masalah keamanan dalam acara pelantikan Gubernur Riau kemarin yang berkesan sangat berlebihan, kira-kira apa ya pertimbangannya? Boleh jadi masyarakat beranggapan hal ini dilakukan karena kemenangan RZ-MM dalam pilkada kemarin tak diakui kelompok masyarakat tertentu. Sehingga, untuk mengantisipasi segala sesuatu yang mungkin terjadi, perlu diperketat penjagaan keamanan. Tapi, ada pula yang beranggapan, ini hanya menunjukkan arogansi saja. Bahwa sebagai orang yang berkuasa, jangan coba-coba mengganggu. Memang, meskipun penjagaan keamanan super ketat dilakukan saat acara pelantikan itu, masih tetap ada saja massa maupun mahasiswa yang melakukan aksi demo. Tapi, yang menjadi pertanyaan, mengapa aksi tersebut dilakukan pada saat acara pelantikan? Bukan jauh hari sebelumnya. Sehingga kalau argumen mereka benar bisa saja kemenangan tersebut dianulir. Tapi kalau penentangan dilakukan saat pelantikan, hasil yang dicapai menjadi sangat minim. Semoga saja, seperti yang kerap terjadi di pelbagai tempat, ini bukan hanya salah satu episode saja. Tujuannya, agar suasana pelantikan terlihat benar-benar demokratis, dan aparat keamanan tampak bekerja sesuai dengan anggaran yang dibuat untuk acara spektakuler itu. (Irwan E Siregar)